Senin 13 Mar 2023 20:57 WIB

Perajin Kulit Cibaduyut Kian Langka, Tergerus Pandemi Hingga Kesulitan Promosi

Perajin kulit di Cibaduyut yang sudah berbisnis sejak 1990 nyaris gulung tikar.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nora Azizah
Penjual menata sepatu kulit yang dipajang (Foto: ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Penjual menata sepatu kulit yang dipajang (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pandemi, telah mematikan bisnis Rudiana dan ratusan pengrajin kulit Cibaduyut. Pengrajin kulit yang telah menjalankan bisnis sejak 1990’an ini mengaku hampir gulung tikar akibat pandemi yang berlangsung lebih dari dua tahun. Dia mengatakan, jika sebelumnya dalam sehari dia mampu mengantongi omzet sekitar Rp 3 juta, maka saat pandemi pemasukannya merosot hingga 70 persen, bahkan nol pemasukan.  

“Kalau pandemi saya sering tidak dapat uang, paling bagus Rp 500 ribu,” aku Rudiana saat ditemui Republika di Sentra Sepatu Kulit Cibaduyut, Kota Bandung, Senin (13/3/2023).  

Baca Juga

Untuk dapat bertahan di tengah krisis ekonomi selama pandemi, dia mengaku telah memutar otak dengan memproduksi produk-produk dengan harga yang lebih terjangkau. Bahkan, dia juga mengandalkan limbah kulit untuk dapat memproduksi pernak-pernik dari kulit, agar kegiatan produksi dapat terus berjalan. 

“Karena kulit mahal, ada versi kedua dari bahan imitasi lebih murah harganya, kita produksi juga, kita juga buat pernak-pernik dari kulit, mulai dari dompet, tempat korek, dan souvenir dari limbah produksi kulit yang banyak terbuang disini (Cibaduyut), itu kita manfaatkan,” papar Rudiana. 

 “(Pemasukan) memang merosot tajam, tapi kita tidak berhenti oper alih, kita ambil dari kulit limbah, kita manfaatkan. Jangan sampai para pekerja tidak berkerja, jadi perputaran ekonomi harus ada walau pun sedikit,” sambungnya. 

Selain pandemi, kendala lain yang membuat semakin banyaknya pengrajin kulit Cibaduyut yang banting stir, adalah kesulitan untuk mempromosikan produk. Menurutnya, banyak pengrajin yang sudah membuat produk kualitas tinggi, namun terpentok di pemasaran. Dia berharap, dengan penetapan Sentra Sepatu Kulit Cibaduyut sebagai Kampung Wisata Kreatif (KWK) Kota Bandung dapat membantu memasifkan promosi.  

“Sekarang wisata sudah berangsur ada lagi, Cibaduyut juga sudah perlahan kembali lagi macet, karna kalau tidak macet berarti tidak ada pengunjung,” ujarnya. 

Dia juga mengaku telah bekerjasama dengan sejumlah agen perjalanan untuk menarik wisatawan menikmati program edukasi dan budaya di Cibaduyut. Rudiana menganggap, program edukasi pembuatan produk kulit cukup efektif untuk menarik minat para pengunjung untuk berbelanja di Cibaduyut.  

“Kita ada kerjasama dengan trevel lewat wisata edukasi, kemarin ada (pengunjung) dari Singapore memang niatnya mau belanja tapi mereka ingin tau cara pembuatanya sampai di video, foto. Setelah itu mereka bisa tau kenapa produk kulit itu mahal, karena cara pembuatan dan prosesnya agak lama dan cukup sulit,” jelasnya. 

Saat ditanya tentang jumlah pengrajin kulit yang saat ini masih eksis, pria yang aktif dalam komunitas pengrajin kulit Cibaduyut ini mengatakan, saat ini hanya 50 persen saja pengrajin yang masih bertahan. Dia memperkirakan, dari sekitar dua ribu pengrajin kulit di Kota Bandung, hanya sekitar ratusan saja yang eksis. 

“Pengrajin kulit di Cibaduyut yang awalnya ada ratusan saja, sekarang tersisa sekitar 70-80 pengrajin saja, karna banyak yang berhenti produksi, bahkan ada yang sampai jadi jualan kopi, mie,” ujarnya. 

Dia berharap, pemerintah dapat memasifkan program-program untuk membantu agar pengrajin kulit Cibaduyut dapat terus eksis dan tidak punah. Dia juga berharap Sentra Sepatu Kulit Cibaduyut dapat segera kembali mencapai masa kejayaannya.

“Saya minta Pemerintah dapat lebih memasifkan program untuk membantu UMKM, supaya Cibaduyut bisa maju lagi kayak dulu,” harapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement