REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Digitalisasi bukan jawaban dari semua permasalahan birokratik pelayanan publik. Pasalnya, proses digitalisasi layanan publik juga memiliki dampak buruk, yaitu pencurian data milik pemerintah.
Anggota Komisi I DPR, Fadhlullah memaparkan, hampir setiap waktu pencurian data pribadi terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kebanyakan pencurian data menyasar sektor perbankan, seperti scamming, penipuan nomor rekening, maupun ATM.
Dia menilai, pencurian data pribadi tersebut juga merupakan suatu kelalaian bagi pemilik yang tidak memproteksi dengan baik. "UU Data Pribadi juga sudah diresmikan, harapannya adalah dapat diimplementasikan dan selaras dengan kerja pihak berwajib," jelasnya di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Dosen Universitas Agung Podomoro, Afdhal Mahatta menjelaskan, pemanfaatan teknologi informasi seperti menyelenggaraan e-commerce, e-education, e-health, e-governance, dan lainnya seperti pedang bermata dua. Penggunaan teknologi tersebut mengakibatkan data pribadi seseorang sangat mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain.
"Selain merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan data pribadi, masyarakat juga harus mampu menjaga data pribadi yang dimiliki seperti menjaga kerahasiaan dan selalu memproteksi data pribadi dengan pengamanan ganda," kata Afdhal.
Akademisi Universitas Abulyatama, Usman Larang, mengatakan, big data merupakan kekuatan bisnis dan politik. Big data terkumpul lewat teknologi aplikasi telah mengubah wajah kapitalisme, tapi dengan karakter yang sama dengan tujuan berkuasa dan menguasai hidup manusa lain dengan cara lebih efektif.
Beberapa tujuan peretasan antara lain menarik keuntungan pribadi, organisasi atau perusahaan, analisis data (data mining dan profiling), politik (persaingan antarkelompok), penipuan, hingga telemarketing.