REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — BPJS Watch menjelaskan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyetujui bahwa struktur BPJS, baik itu kesehatan maupun Ketenagakerjaan, berada langsung di bawah Presiden, tidak melalui menteri. Hal tersebut dimaksudkan untuk meneruskan dan melestarikan filosofi dan kearifan sejarah pendirian dua lembaga tersebut yang sejak awal memang didorong untuk berada di bawah presiden.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timbul Siregar menjelaskan, dengan berada di bawah presiden, maka pengelolaan dana iuran BPJS dari masyarakat menjadi lebih transparan dan langsung diawasi presiden. Di sini menjadikan posisi BPJS independen dan tidak mengalami tekanan dari banyak pihak.
Persetujuan terkait posisi BPJS tersebut terjadi dalam pertemuan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dengan sejumlah pihak pada Kamis (16/3/2023). Termasuk di dalamnya adalah pemerhati BPJS. “Ada saya, Faisal Basri, dan Agus Pambagio di situ. Kita semua menyaksikan menteri setuju BPJS langsung di bawah presiden dan tidak melalui menteri. Bahwa tidak ada penugasan menteri kepada BPJS. Frasa dan pasal yang menjelaskan hal itu dalam RUU Kesehatan dihapus,” kata Timbul, saat dihubungi pada Sabtu (18/3/2023).
Persetujuan itu muncul setelah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mendapatkan masukan mengenai pasal dalam RUU Kesehatan yang menjelaskan BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri. Kemudian BPJS menerima penugasan dari menteri. Hal ini dinilainya menjadi celah kementerian nantinya melakukan intervensi dan penyalahgunaan dana iuran peserta BPJS. Sangat mungkin nantinya melalui celah ini, BPJS dimanfaatkan untuk menangani program pemerintah yang seharusnya didanai dari APBN, tapi malah didanai iuran peserta BPJS.
“Ini tidak boleh, karena dana peserta harus kembali kepada peserta, bukan masyarakat secara umum. Kalau kegiatan yang manfaatnya untuk masyarakat luas baik itu peserta BPJS maupun bukan, maka itu melalui APBN, bukan iuran peserta,” kata Timbul.
Selain itu, ada sejarah dan usaha keras mendirikan BPJS. Bahwa pada 2009, 2010, dan 2011, unsur masyarakat yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial menyuarakan harus ada organ pemerintah yang independen dan profesional, langsung di bawah presiden. Lembaga tersebut mengelola dana iuran jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Dari sinilah kemudian Askes dan Jamsostek yang semula adalah BUMN, kemudian ditarik keluar menjadi organ atau badan negara yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tidak lagi berada di bawah kementerian.
“Pak Menkes setuju, harus tetap di bawah presiden, independen, dan profesional, ini harus kita kawal,” kata Timbul.
Meski nantinya tidak lagi bertanggung jawab kepada menteri, Menkes menginginkan harus ada koordinasi melalui komite. “Jadi nanti, ada komite yang di dalamnya ada Menkes, Menteri Keuangan, DJSN, BPJS Kesehatan, dan Kepala BPOM. Di sini nanti saling berkoordinasi untuk menguatkan penanganan kesehatan nasional,” kata Timbul mengutip perkataan Budi Gunadi Sadikin.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR mengusulkan RUU Kesehatan Omnibus Law. RUU ini merupakan penggabungan sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Pasal kontroversial di dalamnya adalah tentang struktur BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan di bawah kementerian. Padahal sejak awal pendirian BPJS adalah langsung di bawah presiden, tidak melalui menteri.
Hal ini kemudian memunculkan penolakan dari berbagai unsur masyarakat. Ormas Muhammadiyah, sejumlah serikat pekerja, dan pemerhati BPJS, mengkritisi pasal tersebut. Mereka tidak setuju BPJS berada di bawah kementerian, karena akan mengganggu profesionalitas dan independesi BPJS. Mereka menilai jika BPJS di bawah kementerian, maka itu adalah set back dan menyalahi semangat dan perjuangan membangun sistem jaminan sosial yang profesional dan independen.