REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, angkat bicara terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Dia juga menyoroti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), yang menghukum KPU RI untuk menunda gelaran pemilu.
Bagja mengatakan, UUD 1945 tegas menyatakan bahwa pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Dengan demikian, tentu wacana penundaan pemilu bertentangan secara diametral dengan UUD 1945.
Masalahnya, menurut dia, masih saja ada pihak-pihak yang berupaya "menggoreng" isu penundaan pemilu. Dia khawatir isu tersebut membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap gelaran pemilu.
"Bagaimana masyarakat percaya, jika isu ini selalu digoreng terus. Tunda tidak, tunda tidak. Lama-lama masyarakat (berpikir) 'ini nggak jadi nih pemilu'. Ini yang kita takutkan, tidak jadi pemilu," kata Bagja dalam seminar nasional MKD DPR RI bertajuk 'Menyongsong Kontestasi Demokrasi; Mencari Wakil Rakyat yang Bervisi, Bernurani, dan Berparadigma Etis' di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Bagja menuturkan, apabila benar Pemilu 2024 ditunda atau gagal dilaksanakan, maka semua pihak pasti menyalahkan penyelenggara pemilu. Terlepas dari apa pun faktor penyebabnya, tudingan pertama pasti akan dialamatkan kepada KPU RI, Bawaslu RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Kalau ditunda ataupun pemilu gagal, yang disalahkan pasti KPU dan Bawaslu berikut DKPP. Karena ini adalah tugas kami sebagai penyelenggara pemilu," kata Bagja.
Karena itu, Bagja mengajak KPU RI untuk sama-sama menjaga dan berupaya keras agar pemilu terlaksana sesuai jadwal yakni pada 14 Februari 2024. Dia pun menyoroti putusan PN Jakpus yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024.
Menurut Bagja, putusan PN Jakpus itu adalah sebuah persoalan besar karena menyangkut koridor penegakkan hukum pemilu. Pihaknya kini masih berdebat soal bagaimana menganggap putusan peradilan umum itu dalam desain besar penegakan hukum pemilu. Sebab, UU Pemilu hanya mengamanatkan penyelesaian sengketa proses pemilu via Bawaslu dan PTUN.
"Kalau tidak dianggap, itu putusan pengadilan. Tapi, kalau kita laksanakan, itu persoalan besar juga dalam sistem penegakkan hukum pemilunya," ujarnya.
PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023) membacakan putusan atas gugatan perdata yang dilayangkan Prima, partai pendatang baru yang dinyatakan gagal jadi peserta pemilu.
Majelis hakim memutuskan, menghukum KPU RI menghentikan tahapan Pemilu 2024 dan mengulang semua tahapan sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari. Artinya, pemilu yang sejatinya digelar 14 Februari 2024 ditunda ke Juli 2025.
KPU mengajukan banding untuk membatalkan putusan tersebut pada Jumat (10/3/2023). Sehari sebelumnya, KPU meminta masukan kepada sejumlah pakar hukum tata negara, termasuk Yusril Ihza Mahendra, untuk memperkuat muatan memori banding. Kini, KPU tinggal menunggu putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta apakah menerima atau menolak banding tersebut.
Putusan PN Jakpus itu muncul saat wacana penundaan Pemilu 2024 masih bermunculan. Wacana penundaan pemilu untuk memperpanjang masa jabatan presiden sebenarnya sudah muncul dan terus bergulir sejak tahun 2022.
Wacana tersebut awalnya dilontarkan oleh sejumlah menteri Jokowi dan tiga ketua umum partai yang tergabung dalam koalisi Pemerintahan Jokowi. Wacana itu juga sempat diamplifikasi oleh Ketua DPD dan Ketua MPR. Adapun Presiden Jokowi sudah berkali-kali menegaskan bahwa dirinya patuh terhadap konstitusi terkait masa jabatan presiden.