Senin 13 Mar 2023 20:41 WIB

Cita-Cita Arya Menjadi Insinyur Pupus di Ujung Pedang Pelajar Lain

Arya Saputra meninggal setelah lehernya disabet pedang oleh pelajar lain, Jumat lalu.

Pelajar korban sabetan pedang di Kota Bogor, AS (16 tahun), dimakamkan di Desa Cijujung, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Sabtu (11/3/2023).
Foto:

Sebelum kasus Arya, dua remaja di Kabupaten Bogor terlibat duel atau perkelahian maut dengan senjata tajam di wilayah Rancabungur. Salah seorang di antaranya meninggal dunia akibat kejadian tersebut.

Kapolsek Rancabungur, Iptu Hartanto, mengatakan peristiwa itu terjadi pada Rabu (8/3/2023) malam. Kedua remaja yang terlibat duel ialah YV (17 tahun) dan MT (18).

“Terjadi perkelahian (duel) dengan menggunakan senjata tajam yang diakhiri meninggalnya salah satu pihak,” kata Hartanto dalam keterangannya, Kamis (9/3/2023).

Lebih lanjut, Hartanto menjelaskan, korban sebelumnya sudah berjanjian sebelumnya untuk berkelahi. Bahkan menggunakan senjata tajam jenis celurit.

Dalam duel maut tersebut, sambung dia, keduanya mengalami luka bacokan senjata tajam. Nahas, korban YV meninggal dunia, sedangkan MT masih selamat dan sedang menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor.

“Korban MT kondisinya tangan kiri mengalami patah tulang dan luka robek dengan sembilan jahitan,” imbuhnya.

Hartanto mengatakan, polisi yang mendapat laporan tersebut sudah mengamankan barang bukti sebilah celurit. Saat ini, kasus duel maut ini ditangani lebih lanjut oleh Polres Bogor.

“Keluarga korban menolak untuk dilakukan autopsi dan membuat surat pernyataan. Untuk Perkara dilimpahkan tangani Polres Bogor,” ujar Hartanto.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyoroti maraknya kasus saling bacok di kalangan remaja di berbagai wilayah Indonesia. KPAI memandang hal ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya pencegahan.

Berdasarkan data KPAI sepanjang 2022, terdapat 502 kasus anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis atau tertinggi kedua setelah kasus anak menjadi korban kejahatan seksual (834 kasus). Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan/atau psikis kepada anak diantaranya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak. 

"Memang ada kecenderungan masyarakat kita hari ini tentang kekerasan fisik ini begitu tinggi, besar ya. Sehingga ini menjadi alarm yang sudah berbunyi sangat keras untuk kita lakukan langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah akurat hingga penanggulangan," kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada Republika, Sabtu (11/3/2023).

Maryati mengamati anak pada masa saat ini tak lagi sekadar menggunakan kekerasan untuk menunjukkan jati. Mereka bahkan siap membunuh lawan untuk membuktikan diri.

"Tingkatannya itu bukan duel satu lawan satu seolah ingin jadi jagoan, nggak begitu lagi. Tapi ingin menghabisi seseorang ingin merampas nyawa seseorang. Jadi eskalasinya itu sangat luar biasa," ucap Maryati.

Pada titik ini, Maryati memandang aksi kekerasan remaja tak lagi bisa disebut kenakalan remaja. "Ini yang saya soroti sebagai kenakalan remajanya mengarah pada praktik melawan hukum ya," lanjut Maryati.

Oleh karena itu, KPAI mendorong Pemerintah menguatkan program berbasis anak. Mereka mesti dipandang sebagai objek pembangunan sehingga dilibatkan dalam perkembangan wilayahnya, seperti disertakan dalam Musrembang. Dengan demikian, anak punya penyaluran positif.

"Jelas ini problem besar gitu ya. Pemerintah harus betul-betul memiliki kepedulian tinggi," ucap Maryati. 

 

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement