REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tidak tepat jika mengekspresikan rasa kecewa terhadap mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo dengan melakukan aksi boikot membayar pajak.
"Penerimaan pajak sangat penting bagi negara karena pajak memberikan banyak manfaat untuk pembangunan," kata Fajry dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan bahwa uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat Indonesia disalurkan untuk membayar gaji guru, tentara, dan para pelayan publik lainnya.
Selain itu, uang pajak itu juga digunakan untuk subsidi kelompok yang berpendapatan rendah, memberikan bantuan sosial, dan membangun berbagai infrastruktur untuk rakyat. Oleh karena itu, menurut Fajry, manfaat membayar pajak sudah terpampang dengan jelas.
Ia menyayangkan masyarakat yang ikut gerakan boikot membayar pajak untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap kasus yang menjerat mantan pejabat pajakRafael Alun Trisambodo.
Fajry mengatakan membayar pajak adalah sebuah kewajiban dari kehidupan sebagai warga negara dan hal itu merupakan konsekuensi sebagai warga negara Indonesia. Kekecewaan bisa disalurkan dengan cara yang lain, seperti mendorong transparansi.
"Publik bisa mendorong ada perbaikan birokrasi di tubuh DJP," ujar Fajry.
Rafael telah memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan klarifikasi soal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Rabu (1/3/2023).
Nama Rafael Alun Trisambodo menjadi perhatian publik setelah putranya, Mario Dandy Satrio (MDS), menjadi tersangka atas kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora yang merupakan anak seorang Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor Jonathan Latumahina.