Rabu 01 Mar 2023 16:37 WIB

Kasus Kekerasan Panti Asuhan, KPAI Singgung Lemahnya Pengawasan

KPAI menilai lemahnya pengawasan akibatkan adanya kasus kekerasan di panti asuhan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Kekerasan Anak (Ilustrasi). KPAI menilai lemahnya pengawasan akibatkan adanya kasus kekerasan di panti asuhan Palembang.
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan Anak (Ilustrasi). KPAI menilai lemahnya pengawasan akibatkan adanya kasus kekerasan di panti asuhan Palembang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan lemahnya mekanisme pengawasan terhadap panti asuhan. Kasus kekerasan terhadap anak di Panti asuhan Fi Sabilillah AL-Amin Palembang seolah hanya puncak gunung es. 

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menemukan Panti asuhan Fi Sabilillah AL-Amin Palembang belum memperbaharui ijin operasinya sejak Oktober 2022. Panti juga di-downgrade pemerintah tentang akreditasi balai kesejahteraan sosial dari B ke C.

Baca Juga

"Dengan pemerintah menurunkan grade kualitas akreditasi panti, sebenarnya ada temuan apa?" kata Jasra kepada Republika, Rabu (1/3/2023). 

Dari data yang diperoleh KPAI, panti yang berdiri sejak 2009 itu memiliki 4 kamar, yang setiap kamar di isi 5 orang. Sedangkan pelaku kekerasan yang merupakan ketua panti sehari-hari jadi penjual sembako. 

Terdapat 20 anak yang diasuh dan secara menyedihkannya terjadi kekerasan sejak setahun terakhir. Setidaknya 18 anak mengalami berbagai kekerasan kekerasan. Bahkan anak disabilitas berkursi roda disebut paling sering mendapat kekerasan dari pelaku. 

"Kenapa tidak bisa diperpanjang, namun masih bisa mengasuh anak anak, apa saja langkah pemerintah setelah menurunkan grade panti. Padahal kita tahu, para aktivis panti wajib memperpanjang ijin operasional lembaganya menurut aturan setiap tahun sekali," ujar Jasra. 

Jasra menyebut sebagai lembaga professional yang pernah mendapatkan ijin pemerintah sampai Oktober 2022, sudah seharusnya memiliki standar pengasuhan yang layak, taat regulasi dan melaporkan kepada yang berwenang. Namun kenyataannya, kasus kekerasan malah terjadi terhadap anak yang diasuh. 

"Keluarga bilang pelaku telah lupa berbuat kekerasan. Ini jadi pertanyaan lagi, mengapa keluarga tidak melapor," ucap Jasra. 

Jasra mengimbau masyarakat mengenal mekanisme melaporkan panti asuhan agar aksi kekerasan tak berlangsung menahun. Sebab di Palembang sendiri panti yang memiliki ijin resmi adalah 86 panti di 2016 dan meningkat jadi 116 di 2023. 

"Dari pelajaran ini kita berharap pemerintah setempat atau yang mengijinkan pendirian dan operasional, menempelkan telepon pengaduan di rumah-rumah masyarakat dan panti agar dapat segera melapor," sebut Jasra. 

Selain itu, Jasra mengatakan panti tersebut dinyatakan tidak mendapatkan APBD pemerintah. Sehingga selama ini bergantung pada uluran tangan swadaya masyarakat. 

"Nah dengan peristiwa ini, kita semua penting mengubah cara berdonasi, dengan mencari sumber informasi berwenang dan tepat," ucap Jasra. 

Ke depannya, Jasra juga mendorong syarat perpanjangan izin panti mengharuskan para pengasuhnya mengirimkan riwayat kesehatan dari lembaga resmi kesehatan. Sebab mereka harus memiliki kapasitas yang baik dalam berbagai kebutuhan dan hak anak. 

"Saya kira pemimpin daerah punya tanggungjawab mengecek ke bawah dalam pelaksanaan perpanjangan ijin operasional panti setiap tahun sekali," tegas Jasra. 

Dalam kasus Palembang, pelaku kekerasan pengurus panti disebut mengalami ODGJ. Hanya saja pihak keluarga pelaku mengklaim penyakit itu sudah sembuh. 

"Bahwa alasan ODGJ dan sudah sembuh, jangan sampai menjadi alasan melanggengkan kekerasan sekian lama," ujar Jasra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement