REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membeberkan adanya saling rebut penentu justice collaborator (JC) dalam kasus pidana. LPSK mengingatkan dasar hukum penentu JC sudah termuat dalam UU Perlindungan Saksi Dan Korban.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, menyebut KemenkumHAM tengah membahas peraturan turunan perlindungan JC dalam 2 tahun belakangan. Dalam pembahasan itu, muncul argumentasi Penyidik/Jaksa merasa sebagai pihak yang paling mengetahui peran dari para pelaku.
"Atas dasar klaim pengetahuan itu Penyidik/ Jaksa merasa paling memiliki kompetensi untuk menyatakan seorang pelaku tersebut JC atau bukan, bukan LPSK," kata Edwin dalam keterangannya, Jumat (24/2/2023).
Sejauh ini Penyidik, Jaksa, dan Hakim kerap merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur tentang Perlakuan Bagi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja sama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Padahal SEMA tersebut merupakan peraturan internal MA yang secara hirarki jauh di bawah UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Peraturan ini diharapkan dapat segera disahkan agar tidak terdapat perbedaan pandangan di antara aparat penegak hukum (APH) dalam penanganan JC," ujar Edwin.
Edwin menyatakan tidak ada legalitas penyidik/Jaksa sebagai aktor penentu JC. Apalagi pemberian status JC oleh penyidik/Jaksa dapat dilabeli pihak lawan sebagai membeli kesaksian.
"Pemberian status JC oleh penyidik/Jaksa dapat dilabeli pihak lawan sebagai membeli kesaksian. JC dicurigai telah disuap penyidik dengan imbalan keringanan hukuman untuk memberatkan terdakwa lainnya," ujar Edwin.
LPSK pub menyadari pengetahuan penyidik/jaksa atas soal perbuatan, sikap dan tindakan pelaku sebelum dan sesudah melakukan kejahatan. Namun, bila merujuk UU Perlindungan Saksi dan Korban, maka tidak ada jalan bagi penyidik/Jaksa menyatakan seseorang pelaku itu JC atau bukan. Karena dalam UU itu tidak ada pendelegasian kepada penyidik/Jaksa untuk memutuskan JC.
"UU ini menegaskan tugas dan wewenang LPSK untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lainnya kepada JC," ucap Edwin.
Selain itu, Edwin menegaskan keputusan perlindungan kepada JC oleh LPSK itu berkonsekuensi terhadap pemberian penghargaan. Penghargaan itu diberikan dengan jalan LPSK menerbitkan rekomendasi secara tertulis kepada Hakim melalui Jaksa terkait keringanan penjatuhan pidana dan kepada Menkumham terkait pemenuhan hak-hak narapidana yang berstatus JC.
"Selain soal pemberian penghargaan, JC juga mendapatkan penanganan khusus berupa, pemisahan penahanan, pemisahan pemberkasan dan dan pemberian kesaksian tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya," ucap Edwin.