REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, Haznan Abimanyu, menilai kinerja pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sudah berhasil, tapi belum optimal. Menurut dia, PLTSa tersebut masih berada di skala pilot plant skala kecil. Perlu langkah lanjutan untuk mengoptimalkan PLTSa yang diresmikan pada 2019 itu.
"Agar lebih optimal maka perlu dibangun skala besar, dan yang tak kalah penting juga masyarakat harus dilibatkan untuk melakukan memilah sampah,” ujar Haznan dalam siaran pers, Rabu (22/2/2023).
Dia mengatakan, sampah yang tercampur dengan sampah organik yang basah sangat sulit untuk dibakar dan menghasilkan listrik. Sampah organik seperti itu dapat dijadikan makanan maggot dan maggot bisa dimanfaatkan untuk makanan ayam dan lele.
Menurut dia, PLTSa Bantargebang dapat diterapkan di setiap kota yang menerapkan strategi pilah sampah. Tanpa itu, PLTSa di mana pun di Indonesia sangat sulit dikembangkan secara ekonomis.
"Alam Indonesia yang berada di daerah tropis kondisinya bercurah hujan tinggi dan kelembaban tinggi, membuat sampah-sampah di Indonesia berinilai kalor rendah. Hal ini berbeda dengan sampah-sampah dari negera sub tropis yang bercurah rendah dan kelembaban yang rendah," jelas dia.
PLTSa di Bantargebang dibangun sejak 2018 dan selesai pada 2019. Pada 2019 dilakukan commissioning dan diresmikan oleh Menko Maritim, Luhut B Panjaitan. Selanjutnya, pada 2020 sampai dengan 2022 PLTSa dioperasikan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan didampingi oleh BRIN.
PLTSa Merah Putih merupakan PLTSa pertama di Indonesia yang beroperasi secara kontinyu. PLTSa tersebut didesain, dikonstruksi, dan dioperasikan oleh putra putri Indonesia.
“Performance hingga saat ini masih bagus ditandai dengan parameter-parameter desain masih terpenuhi,” kata Haznan.
Hal itu dibuktikan dengan emisi yang masih di bawah baku mutu yang ditetapkan KLHK untuk pembakaran sampah. PLTSa Merah putih sampai saat ini masih menjadi tempat untuk studi banding dari pemda lain, tempat belajar bagi mahasiswa magang, kuliah lapangan sampai dengan masyarakat ibu kota untuk melihat dari dekat proses pengolahan sampah secara terintegrasi.
PLTSa, menurut Haznan, utamanya adalah untuk memusnahkan sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan, secara cepat dan ramah lingkungan dan Energi listrik yang terjadi merupakan bonus. Selain itu, ia menekankan bahwa PLTSa yang dipakai yang berbahan bakar sampah tidak dipilah, sangat sulit untuk menghasilkan listrik secara optimal.
"PLTSa yang dibangun ini adalah fasilitas untuk membakar sampah kering yang sudah sudah dipilah,” tutur dia.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan menurutnya adalah mengedukasi dan menegakkan peraturan agar masyarakat memilah sampah menjadi lima bagian, yakni sampah organik, sampah bisa didaur ulang, sampah plastik, sampah mudah terbakar non plastik, dan sampah residu. PLTSa ini dimanfaatkan untuk mengolah sampah mudah terbakar non-plastik.
Di samping itu, Haznan juga mengatakan, BRIN telah ikut serta dalam memahamkan masyarakat dalam pengelolaan sampah di skala rumah tangga, skala kawasan, dan kota. Sebagai contoh, pihaknya memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat terkait 3R, yakni reduce, reuse, recycle yang terintegrasi pada sirkular ekonomi.
Pelatihan pengelolaan sampah menjadi kompos, pengelolaan sampah menjadi Refused Derived Fuel (RDF) sebagai bahan bakar alternatif, sampai dengan Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) juga diberikan.
Dalam tataran kebijakan, Haznan menyebutkan, BRIN dilibatkan kementerian lembaga maupun pemerintah daerah dalam pembahasan-pembahasan permasalahan sampah nasional maupun daerah.