REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mengakui belum bisa mengusut indikasi aliran dana hasil kejahatan ke kontestan Pemilu 2024. Sebab, indikasi ini ditemukan di luar masa kampanye.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menjelaskan, lembaganya memang bertugas menegakkan hukum pemilu. Hanya saja, UU Pemilu hanya memberikan wewenang untuk mengusut pelanggaran dana kampanye. Adapun indikasi aliran dana kejahatan ke kontestan pemilu ini ditemukan sebelum masa kampanye.
"Kami saat ini belum bisa mengusut karena bukan dalam masa kampanye," kata Bagja kepada wartawan di Jakarta, dikutip Sabtu (18/2/2023).
Kendati begitu, lanjut dia, terdapat celah yang memungkinkan Bawaslu melakukan penyelidikan. Celah itu adalah apabila dana hasil kejahatan itu diketahui bakal dipergunakan untuk kampanye.
Masalahnya lagi, untuk mengetahui apakah aliran dana hasil kejahatan itu digunakan untuk kampanye atau bukan, Bawaslu tetap saja tidak punya kewenangan. Karena itu, Bagja meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyerahkan laporan indikasi praktik pencucian uang itu ke Polri dan atau Kejaksaan Agung.
Dengan begitu, dua lembaga penegak hukum itu bisa melakukan penyelidikan awal untuk mengetahui rencana penggunaan uang haram itu. "Kita akan lihat lagi nanti (hasil penyelidikan) dari polisi dan jaksa," ujar Bagja.
Kabar soal dana kejahatan mengalir ke anggota partai politik ini diungkapkan PPATK sejak pertengahan Januari lalu. PPATK menemukan bahwa uang hasil kejahatan lingkungan atau green financial crime (GFC) mengalir ke anggota partai politik untuk keperluan pemenangan Pemilu 2024. Jumlah uang hasil kejahatan lingkungan itu mencapai Rp 1 triliun.
PPATK menyebut, uang haram Rp 1 triliun itu berasal dari kejahatan pembalakan liar atau illegal logging. Uang tersebut mengalir ke anggota parpol sejak tiga tahun lalu.
Pada Selasa (14/2/2023), PPATK kembali menyinggung persoalan itu. PPATK menyatakan, uang hasil kejahatan mengalir ke sejumlah orang untuk keperluan pemilu di berbagai tingkatan, baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, aliran dana tersebut merupakan praktik pencucian uang.
"Kita menemukan ada beberapa memang indikasi ke situ dan faktanya memang ada. Itu kita koordinasikan terus dengan teman-teman dari KPU dan Bawaslu," kata Ivan, usai rapat kerja dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2).