REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, mengungkapkan sejumlah jalur bagi seseorang untuk menjadi guru besar atau profesor.
Menurutnya, di Indonesia butuh waktu puluhan tahun bagi dosen untuk mencapai jenjang guru besar. Selain itu, seorang dosen juga harus menghasilkan karya akademik dalam kerangka tri darma perguruan tinggi yang mencakup pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat.
Dari sisi regulasi, tahapan seorang akademisi tersebut adalah bagian dari jalur akademik untuk dosen. "Jalur pertama merujuk pada Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen di mana seorang professor berprofesi sebagai dosen," kata Sigit, Jumat (17/2).
Sedangkan jalur bagi kalangan non-akademik, yang terbaru diatur di dalam Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Sebelumnya pengangkatan profesor tidak tetap merujuk pada Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.
"Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 menegaskan kriteria bagi profesor kehormatan di antaranya: memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia; memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa; memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional," jelas Sigit.
Sigit kemudian mengambil contoh pengangkatan dosen tidak tetap dari kalangan nonakademisi di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat dosen tidak tetap tersebut dikenal dengan sebutan 'practice proffesors', 'professors of practice', atau 'professors of the proffesional practice'.
"Mereka ditugaskan untuk mengajar, namun tak dibebani kewajiban melakukan riset. Pengangkatan dalam jabatan semacam ini dilakukan dengan prosedur yang transparan, jelas, dan ketat; serta quality control yang andal. Ada evaluasi berkala dan ketat sebagai dasar untuk memperpanjang atau menghentikan yang bersangkutan dalam posisi tersebut. " ujarnya.
Sigit juga menerangkan bahwa kaidah normatif pengangkatan profesor kehormatan di antaranya mensyaratkan memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa. Kemudian memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.
"Mereka yang diangkat dalam jabatan tersebut semestinya individu yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya, pengalaman, dan reputasi yang relevan bagi pengembangan ipteks dan kontribusi keilmuan," ungkapnya.
Dalam beberapa pengangkatan profesor kehormatan, Sigit mengatakan mulai tampak dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Praktik pengangkatan profesor kehormatan kemudian disoroti apakah menerapkan kaidah secara konsisten atau sekadar instrumen transaksi kepentingan di antara para pihak terlibat dalam proses tersebut.
Sigit menilai ada kekhawatiran bahwa interpretasi kaidah normatif itu dilakukan secara subyektif, sesuai kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya. Pengangkatan profesor kehormatan tersebut juga dikhawatirkan didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi.
"Jika hal ini yang terjadi maka patut diduga ada upaya “transaksi jabatan akademik profesor” dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik. Suatu formalisasi dan rekognisi terhadap capaian akademik semu, tidak orisinal, dan tidak 'genuine'," terang Penasihat Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI tersebut.