Rabu 15 Feb 2023 11:26 WIB

Membangun Harmoni dan Persaudaraan Lintas Iman

Dialog lintas iman merupakan keniscayaan pada era sekarang

Warga saat menghadiri acara Resepsi Puncak Satu Abad NU di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur (ilustrasi). Dialog lintas iman merupakan keniscayaan pada era sekarang
Foto:

Oleh : Prof Asep Saepudin Jahar, PhD. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina LAZISNU dan LWP PC NU Tangerang Selatan

Di era digital seperti ini, ruang komunikasi secara fisik mulai berganti ke ranah virtual. Interaksi antar individu terintegrasi secara global. Perkembangan media ini menjadi sarana yang lebih kuat dan cepat untuk mentransmisikan pesan dan dialog antariman yang lebih dinamis.

Kemudahan komunikasi akan memberikan dampak bagaimana agenda-agenda kemanusiaan antar agama diimplementasikan dengan baik. Inilah titik balik beragama dalam konteks modernisasi.

Namun, kebutuntuan atau menutup diri dalam dialog antar iman, kemajuan digital malah akan menjadi badai besar dalam keberagamaan. Hal ini dipicu ketak-terbendungnya arus informasi yang berkembang dengan konten yang menimbulkan konflik. 

Oleh sebab itu, merupakan langkah yang baik, wilayah virtual dijaga secara bersama sehingga heterogenitas tetap dibingkai dalam membina kebersamaan. Kekompakkan yang terbina lewat pesan-pesan singkat di media sosial, hendaknya mampu diejawantahkan ke dunia nyata, sehingga kehangatan dalam keragaman mampu dirasakan sesama.

Sudah saatnya aplikasi dunia digital juga menjadi wilayah publik (public sphere) mensinergikan komunikasi dan dialog antariman lebih dinamis sehingga memperkuat kesalingpahaman. 

Momentum penting  

Gus Yahya melalui Nahdhatul Ulama (NU) telah membuktikan pada negeri ini tentang arti penting keharmonisan beragama. Ini bukan sekadar jargon repetitif, namun adalah peneguhan agar masyarakat kembali mengingat hakikat keagamaan yang diyakininya.

Agama-agama menjadi arah bagi setiap umatnya dan hadir untuk memperkuat peradaban. Manusia yang mengimaninya tidak hanya didorong kewajiban beribadah pada Tuhan (habluminallah), tapi juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia (habluminannas). Agama yang sejati adalah yang bermanfaat bagi publik, tanpa membeda-bedakan latar belakang apapun. 

Baca juga: Sujud Syukur dan Kekalahan Pertama yang Tewaskan Puluhan Ribu Tentara Mongol di Ain Jalut

Beberapa dekade lalu, Gus Dur dan Forum Demokrasinya (disingkat Fordem) yang melibatkan para cendikiawan lintas organisasi dan iman, seperti Arif Budiman, Bondan Gunawan (Muhammadiyah), Marsillam Simanjuntak, dan lain sebagainya, memberikan contoh penting, betapa mulianya berjuang untuk kemanusiaan dalam ruang keragaman di tengah sistem sosial-politik yang tidak berpihak pada demokrasi.

Presiden RI ke-4 ini membuktikan bahwa bekerja demi kemanusiaan membawa aneka manfaat bagi kehidupan yang lebih luas. Publik kekinian tentu harus menjadikan ini sebagai pengingat bahwa memang memperjuangkan nasib bangsa perlu dengan semangat gotong royong dan melibatkan banyak pihak. 

Pengalaman dan jejak Gus Dur tampaknya dilanjutkan Gus Yahya bagaimana untuk memperteguh eksistensi NU bagi umat Islam dan dunia. NU di paruh abad kedua akan dihadapkan pada tantangan global yang lebih kompleks.

Awal take off dari dialog antariman dan prolifierasi Fikih Peradaban adalah amunisi penting untuk merespons perubahan keberagamaan ke depan. Konsistensi NU dalam membangun keadaban masyarakat ini menjadi bukti bahwa ia adalah hadir sebagai penerus warisan para pendirinya.

 

Akhirnya, dialog antariman, saling memberikan rekognisi dalam memperkuat keharmonisaan dalam keragaman harus terus digaungkan lewat aneka kesempatan. Kerja mulia ini dilakukan bukan semata-mata untuk generasi dewasa ini, melainkan sebagai warisan bagi peradaban dimasa datang.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement