REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa bumi bermagnitudo 7,8 melanda Turki dan Suriah, Selasa (6/2) lalu. Ribuan orang meninggal dan belasan ribu orang terluka akibat gempa. USGS menyatakan, pusat gempa berada 23 kilometer timur Nurdagi, kedalaman 24,1 kilometer.
Pakar geologi Universitas Gadjah Mada, Dr Wahyu Wilopo mengatakan, risiko tingkat kerusakan bangunan yang besar diakibatkan tidak hanya magnitudo yang memang cukup besar. Tapi, juga tingkat kedalaman pusat gempa.
"Kerusakan gempa bumi sangat dipengaruhi kekuatan gempa, durasi gempa, jarak gempa (horizontal dan kedalaman) dari lokasi, kondisi tanah dan batuan di lokasi, termasuk ada tidaknya jalur patahan dan kekuatan bangunan yang ada," kata Wahyu, Ahad (12/2).
Selain itu, episentrum gempa ada di daerah daratan. Gempa besar terjadi bukan di titik pertama, tapi juga tempat lain. Gempa pada 4.17 dengan magnitudo lebih rendah, Lalu pada 4.28 magnitudo 6,7 dan pada 13.24 dengan magnitudo 7,8.
Gempa berturut-turut dengan magnitudo cukup besar ini justru akan lebih merusak dibanding yang hanya terjadi sekali atau gempa agak besar diikuti gempa-gempa kecil. Ia menilai, masyarakat kita harus pula mewaspadai gempa-gempa susulan.
"Yang mungkin magnitudonya lebih besar dari gempa pertama seperti kasus di Turki ini atau di Lombok pada 2018," ujar Wahyu.
Wahyu berpendapat, secara umum bangunan Turki sudah lebih baik secara kekuatan dibanding Indonesia. Namun, dengan gempa cukup besar berkali-kali menyebabkan keruntuhan. Kemudian, sebagian besar tipikal bangunan Turki dibangun bertingkat.
"Bukan satu lantai, sehingga lebih rentan runtuh dan menimbulkan banyak korban," kata Wahyu.
Maka itu, pelajaran dari Turki dan Suriah, setiap orang harus waspada terhadap gempa bumi di Indonesia. Salah satu kewaspadaan yang harus dilakukan antara lain dengan membangun bangunan yang tahan terhadap gempa.
Lalu, masyarakat harus memiliki rencana evakuasi mandiri bila terjadi gempa dengan mengenali tempat-tempat berlindung atau jalur evakuasi menuju tempat aman. Yang tidak kalah lebih penting, melakukan pemetaan sesar-sesar aktif.
Pemetaan sesar aktif sebagai pemicu gempa bumi perlu dilakukan lebih rinci untuk inventarisasi daerah berpotensi terjadi gempa bumi. Sebab, pengembangan wilayah memang harus mengacu kepada informasi bencana, salah satunya gempa bumi.
"Di mana harus ada rekomendasi kekuatan bangunan yang sesuai ancaman gempanya," ujar Wahyu.