Kamis 09 Feb 2023 16:04 WIB

Eks Ketua Dewan Pers Soroti Masalah Media Abal-Abal dan Wartawan Gadungan

Di berbagai daerah, banyak ditemukan pemda bekerja sama dengan media abal-abal.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Dewan Persperiode 2016-2019, Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo.
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Ketua Dewan Persperiode 2016-2019, Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo.

REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Mantan Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo menyoroti permasalahan wartawan gadungan yang sampai sekarang masih mengusik kehidupan pers yang menjalankan jurnalisme secara profesional. Persoalan di Indonesia tidak ditemukan di negara tetangga.

"Masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai sampai sekarang, padahal di negara lain tidak ada lagi yang namanya wartawan abal-abal atau wartawan bodong. Misalnya, Singapura, Malaysia, Filipina dan Timor Leste tidak ada tempat bagi wartawan abal-abal," katanya saat dihubungi dari Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Kamis (9/2/2023).

Mantan Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu mengatakan, aktivitas wartawan gadungan dan media abal-abal merupakan permasalahan nasional. Di Provinsi Kepri juga terdapat wartawan gabungan dan media abal-abal, yang menyebabkan aktivitas pers profesional terganggu.

Sepak terjang wartawan gadungan dan media abal-abal, kata Stanley, menyebabkan terjadi pemborosan anggaran daerah dan negara. Hal itu karena anggaran tersebut dipergunakan untuk membiayai dan bekerja sama dengan media abal-abal.

Dia menyatakan, di berbagai daerah ditemukan pemda bekerja sama dengan media abal-abal. Sehingga, hal itu menimbulkan permasalahan hukum. Dalam kasus lainnya, menurut Yosep, ada oknum pejabat bermasalah di berbagai daerah suka bekerja sama dengan kelompok wartawan abal-abal agar tidak ditulis negatif.

Hubungan mereka merupakan simbiosis mutualistis, saling menguntungkan. "Di Bengkulu, contohnya, pemda diminta mengembalikan uang sekitar Rp 3 miliar karena bekerja sama dengan media abal-abal," kata Stanley.

Dia berpendapat, Dewan Pers, komunitas pers, kepolisian dan kejaksaan memiliki peran menangani permasalahan wartawan gadungan dan media massa abal-abal. Menurut Stanley, uji kompetensi wartawan dan sertifikasi perusahaan media massa yang dilaksanakan secara profesional, merupakan upaya untuk mencegah lahirnya media abal-abal dan wartawan gadungan.

"Sudah ada aturannya yaitu pedoman dan standar perusahaan pers. Ini dilaksanakan secara profesional," kata Stanley.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh wartawan gadungan dan media abal-abal, kata dia, merupakan kewenangan kepolisian dan kejaksaan melakukan penindakan. Di berbagai daerah, pihak kepolisian berhasil mengungkap kasus wartawan gadungan memeras pengusaha atau pejabat.

Kesepakatan antara Dewan Pers dengan Polri dan Kejaksaan Agung berhubungan dengan perlindungan terhadap wartawan profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Namun, kata Stanley, penyalahgunaan profesi yang melanggar hukum dapat diproses secara hukum.

"Dalam menghadapi wartawan gadungan dan media massa palsu, tidak ada pilihan bahwa Dewan Pers dan komunitas pers harus melakukan yang namanya uji kompetensi wartawan dan sertifikasi perusahaan pers karena ada banyak wartawan yang tidak digaji tapi punya kartu pers dan tertulis di kolom redaksi. Ini salah satu penyebab si wartawan memeras pengusaha," kata Stanley.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement