Senin 06 Feb 2023 16:44 WIB

Kuasa Hukum Tuding KPK dan Jenderal Gatot Terima 'Pesanan' Kasus Heli AW-101

John Irfan Kenway dituntut penjara 15 tahun soal pengadaan heli AW-101 untuk TNI AU.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway menjalani sidang lanjutan di Jakarta, Senin (31/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan saksi terkait tindak pidana korupsi pengadaan helikopter AW-101 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp738 miliar.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway menjalani sidang lanjutan di Jakarta, Senin (31/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan saksi terkait tindak pidana korupsi pengadaan helikopter AW-101 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp738 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituding menerima pesanan dalam menindaklanjuti kasus pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Pasalnya, KPK terus memaksakan memproses kasus itu, meski proses pemeriksaan di internal TNI sudah menghentikannya.

Tuduhan tersebut disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa tunggal kasus helikopter AW-101, John Irfan Kenway, Pahrozi dalam sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (6/2/2023). Pahrozi menyebut ada kecurigaan, KPK dalam memproses kasus pengadaan helikopter AW-101 tidak bekerja secara profesional.

"KPK bekerja tidak lain karena ada suatu pesanan dari pihak-pihak tertentu. Kami memang tidak dapat menunjuk pihak-pihak tertentu yang mengendalikan KPK tersebut, tetapi kami merasakan hal itu sebagaimana fakta-fakta hukum," kata Pahrozi dalam persidangan itu.

Pahrozi merujuk salah satu fakta di persidangan, pernyataan eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal kerugian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 tidak didasarkan kegiatan investigasi/wasriksus (pengawasan dan pemeriksaan khusus). Dia menyebut hanya ada nomor surat wasriksus, namun tidak ada hasil pemeriksaannya, serta dilakukan pada saat kontrak masih berjalan.

"Ini permufakatan jahat untuk mengkriminalisasi terdakwa serta prajurit dan institusi TNI AU. Maka secara tidak langsung menggambarkan bahwa oknum KPK dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo ingin coba-coba tidak memperdulikan hukum yang berlaku," ujar Pahrozi.

Pahrozi juga mengingatkan, perkara itu sudah dihentikan penyidikannya oleh Papera (Perwira Penyerah Perkara) TNI AU. Ia menyebutkan, helikopter AW-101 sudah menjadi barang milik negara (BMN) dengan masuk dalam Laporan Keuangan (LK) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) atau TNI 2019.

Saat ini, helikopter AW-101 sedang dilakukan pemeliharaan dan perawatan oleh Kemenhan.  "KPK dengan ego sektoralnya tetap melakukan proses hukum terhadap terdakwa dan artinya pula KPK sedang merendahkan marwah dan martabat TNI karena tidak mengindahkan penghentian penyidikan oleh Papera tersebut," ucap Pahrozi.

Selain itu, Pahrozi menilai jaksa penuntut umum (JPU) KPK tak berwenang menyatakan TNI AU kecewa terhadap Helikopter AW-101/646 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248. Pasalnya, kata dia, tidak ada bukti konkret yang mendukung pernyataan itu.

"Faktanya, TNI AU telah menerima dan kemudian memperoleh anggaran return to service untuk memperkuat TNI. Jika kecewa, tentunya helikopter tersebut akan ditelantarkan dan tidak digunakan," sebut Pahrozi.

Oleh karena itu, Pahrozi meminta majelis hakim agar kliennya dibebaskan dari segala tuntutan. Apalagi, sambung dia, John Irfan Kenway telah menyerahkan barang hasil pengadaan heli AW-101 kepada TNI AU.

"Nyatanya tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dikategorikan melakukan

perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," ujar Pahrozi.

Sebelumnya, JPU KPK menuntut Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM), Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway dengan hukuman penjara 15 tahun. Irfan dituntut bersalah dalam kasus pengadaan heli angkut AW-101 untuk TNI AU.

Hal tersebut terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada Senin (30/1). Selain hukuman penjara, Irfan turut dituntut dengan hukuman denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 177 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement