Sabtu 04 Feb 2023 06:01 WIB

Melihat Lebih Dekat Penyakit di Tubuh BRIN

Mandat itu sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Mansyur Faqih
Ilustrasi Gedung Badan Riset Inovasi dan Teknologi (BRIN)
Foto:

Masih terkait peleburan, Poltak mempersoalkan pembubaran badan riset yang ada di lembaga legislatif dan juga yudikatif. Poltak mengatakan, badan riset di masing-masing lembaga tersebut harus berdiri masing-masing karena punya fungsi yang berbeda untuk memenuhi unsur check and balances di setiap lembaga.

Jika tidak, akan timbul bahaya berupa semua pendapat tentang UU akan pro pemerintah. "Kalau mau berpikir efisiensi, tidak bisa main pukul rata seperti itu. Yang tidak efisien, diefisienkan. Misalnya unit-unit pemerintah yang tumpang tindih. Tapi yang punya DPR ataupun yang yudikatif, di bawah MK dan MA, itu tidak bisa. Itu harus mengikuti check and balances," jelas dia.

Poltak juga menyoroti persoalan pengelolaan dana riset yang dia nilai ngawur. Periset yang tergabung di dalam BRIN, kata dia, dipersulit ketika hendak melakukan riset dengan aturan yang dibuat sendiri.

Uang untuk keperluan riset, kata dia, tidak dapat dipegang di tangan. Sehingga mengharuskan periset untuk menggunakan kartu kredit untuk membayar keperluan riset.

Dia mencontohkan soal biaya transportasi untuk keperluan riset. Biaya menuju bandara dipotong hanya menjadi Rp 150 ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Sesampainya di lokasi riset pun dia mengalami kesulitan karena minimnya dana yang diberikan.

Poltak mengalami hal tersebut ketika hendak meneliti Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. "Waktu saya riset IKN itu. Tidak bisa sampai semua. Yang tadinya tim ada tujuh orang tinggal dua orang saja yang jalan. Padahal kita harus mewawancarai banyak pihak. Itu pun dalam sehari karena sudah tidak mungkin lagi berhari-hari. Uangnya tidak cukup," jelas dia.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu berdampak pada berantakannya metodologi yang dilakukan seorang periset. Keterbatasan yang ada membuat riset yang dilakukan memiliki data yang tidak cukup representatif. Padahal, periset di BRIN dituntut untuk mempertanggungjawabkan riset-risetnya hingga bisa terbit di jurnal internasional.

"Jurnal internasional itu kan dia lihat metodologi. Kalau survei, berapa sampelnya. Kalau kecil-kecil tidak representatif dia lihat, istilahnya kacangan atau main-main, abal-abal. Riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dia tidak paham itu," kata Poltak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement