Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menduga adanya kesilapan atau perasaan berlainan dengan keadaan sebenarnya dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang tuntutan dan replik terhadap Bharada Richard Eliezer (E). Edwin mengeluhkan, JPU yang mengabaikan rekomendasi LPSK untuk meringankan hukuman Bharada E selaku justice collaborator (JC).
Namun, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu meyakini rekomendasi LPSK bakal didengar Majelis Hakim.
"Rekomendasi LPSK bukan untuk dipertimbangkan oleh jaksa tapi itu bahan pertimbangan hakim dalam jatuhkan vonis," kata Edwin kepada wartawan, Kamis (2/2/2023).
Edwin menegaskan rekomendasi LPSK sudah sepatutnya dimuat dalam surat tuntutan. Hal ini sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Perintah UU yaitu rekomendasi dimuat dalam tuntutan," lanjut Edwin.
Sehingga Edwin menyinggung JPU kurang memahami JC karena tak mengamini rekomendasi LPSK. Alhasil dampaknya menurut Edwin merugikan Bharada E.
"Jaksa minim pustaka memahami JC, padahal sudah banyak kajian nasional internasional tentang JC," ujar Edwin.
Edwin juga memandang JPU tidak paham JC diperlukan guna mengungkap kasus yang sulit pembuktiannya. Dengan bantuannya, maka seorang JC layak memperoleh reward, misalnya pengurangan masa hukuman.
"Jaksa mendramatisasi derita Yoshua. Padahal keluarga Yoshua sudah memaafkan E. Keluarga J malah pertanyakan jaksa yang tuntut ringan PC (Putri Candrawati)," ucap Edwin.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai peran terdakwa Richard Eliezer (RE) bukan sebagai pelaku yang menguak fakta dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, sebagai salah satu pelaku utama dan eksekutor pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) itu, Richard tak dapat masuk dalam kriteria sebagai justice collaborator (JC), atau pelaku yang bekerja sama dalam pengungkapan kejahatannya.
“Delictum (perbuatan) yang dilakukan oleh terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor, yakni pelaku utama (pembunuhan berencana Brigadir J), bukanlah sebagai penguak fakta utama,” kata Ketut dalam penjelasannya, di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Bukan cuma soal peran terdakwa Richard itu yang menghalanginya untuk mendapatkan status JC. Pokok kasus yang menjerat pemuda 24 tahun asal Manado, Sulawesi Selatan (Sulut) itu, juga tak masuk dalam kriteria kasus yang memberikan sarana pemberian status JC terhadap pelaku kejahatan.
Ketut menerangkan, istilah JC mengacu pada dua dasar hukum. Undang-undang (UU) 31/2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC. Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian JC terhadap pelakunya.
“Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” terang Ketut.
