REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway dengan hukuman penjara 15 tahun. Irfan dituntut bersalah dalam kasus pengadaan heli angkut AW-101 untuk TNI AU.
Hal tersebut terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (30/1/2023). Selain hukuman penjara, Irfan turut dituntut dengan hukuman denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 177 miliar.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa John Irfan Kenway dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa KPK dalam persidangan tersebut, Senin.
Jaksa KPK meyakini John Irfan Kenway terbukti bersalah melakukan korupsi. Sehingga John Irfan Kenway dinilai pantas dihukum sebagaimana tuntutan Jaksa KPK.
"Menyatakan terdakwa John Irfan Kenway telah terbukti secara sah dan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar Jaksa KPK.
Atas tuntutan tersebut, anggota tim Penasihat Hukum Irfan Kurnia Saleh, Pahrozi menyatakan keberatan atas tuntutan JPU KPK yang mengabaikan fakta persidangan. Pahrozi meminta agar terdakwa dibebaskan demi hukum.
"Kami sangat menyayangkan tuntutan JPU, padahal berdasarkan fakta di persidangan semestinya terdakwa dibebaskan demi hukum," kata Pahrozi kepada wartawan usai persidangan.
Tim kuasa hukum dari Rozi Rozi Asociates Law Firm itu menyatakan keberatan atas tuntutan tersebut. Tim kuasa hukum meyakini JPU wajib menuntut bebas terdakwa sesuai fakta persidangan.
"Ini dalam rangka mencapai tujuan negara hukum yaitu kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum serta perlidungan hak asasi manusia," ujar Pahrozi.
Pahrozi menyebut sederet alasan Irfan harus dibebaskan. Pertama, KPK telah melanggar Undang-Undang (UU) tentang KPK itu sendiri, yakni UU No 19 Tahun 2019 dalam melakukan proses hukum terhadap terdakwa.
Kedua, Pahrozi menyebut KPK terbukti melakukan perhitungan kerugian negara sendiri terhadap pengadaan helikopter AW-101 Tahun Anggaran 2016 di unit organisasi TNI AU dan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Negara. Perhitungan tersebut, lanjut Pahrozi tidak dilampirkan dalam berkas perkara, namun hanya disampaikan kepada Majelis Hakim.
Ketiga, Pahrozi menilai KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menyita uang milik negara.
"Keempat, terbukti di muka persidangan bahwa peristiwa yang dapat dibuktikan dalam perkara ini adalah peristiwa keperdataan dalam pengadaan Helikopter AW-101 Tahun Anggaran 2016 di TNI AU, yang telah diselesaikan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tahun 2019 dan rekomendasi BPK RI tahun 2020," ucap Pahrozi.
Kelima, Pahrozi menyinggung motif penegakan hukum terkait pengadaan Helikopter AW-101 Tahun Anggaran 2016 di TNI AU oleh KPK bersama dengan Polisi Militer (POM) TNI ternyata merupakan kepentingan pribadi mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurutnya, Gatot pada saat itu menggunakan kasus itu untuk politik pencitraan dan publikasi.
"Ini dalam persiapan (Gatot) mengikuti kontestasi Pemilu Presiden 2019," ucap Pahrozi.