Kamis 26 Jan 2023 15:57 WIB

Potensi Main Mata dalam Pembahasan Perppu Cipta Kerja di DPR

DPR diminta menolak persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Massa dari Partai Buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Dalam aksinya mereka menolak Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang berisi tentang permasalahan upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, pemutusan hak kerja (PHK) hingga sanksi pidana yang dihilangkan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari Partai Buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Dalam aksinya mereka menolak Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang berisi tentang permasalahan upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, pemutusan hak kerja (PHK) hingga sanksi pidana yang dihilangkan. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberlanjutan Peraturan Pemerintah (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja kini berada di tangan DPR untuk diputuskan disahkan menjadi undang-undang (UU) atau tidak. Terkait hal tersebut, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI) menyoroti potensi adanya 'main mata' akibat koalisi yang solid antara DPR dengan pemerintah.

"Kami mengkhawatirkan keberadaan koalisi yang solid antara pemerintah dan DPR berpotensi menimbulkan 'main mata' antara pemerintah dengan DPR dan menghilangkan fungsi checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, yaitu dengan DPR menyetujui Perppu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU," jelas Ketua Iluni FHUI, Rapin Mudiardjo, Kamis (26/1/2023).

Baca Juga

Terlebih, kata Rapin, secara historis semua pihak dapat melihat DPR sangat mendukung pengesahan UU Cipta Kerja dalam waktu yang singkat meskipun rancangan tersebut terdiri lebih dari seribu halaman. Sebelumnya pun, metode omnibus yang semula tidak dikenal dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tiba-tiba saja diperkenalkan dalam UU No. 13 Tahun 2022.

"Yang merupakan revisi kedua atas UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, atau setahun setelah ditetapkannya Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Fakta ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dan mosi tidak percaya akan berjalannya fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat," kata Rapin.

Karena itu, Iluni FHUI berharap agar DPR mampu menjalankan amanah dan tugasnya secara obyektif. Mengingat Perppu Cipta Kerja selanjutnya menjadi domain bagi DPR untuk mendapatkan persetujuan, Iluni FHUI mendesak DPR agar secara obyektif memperhatikan aspek materil maupun formil Perppu Cipta Kerja.

"Termasuk perihal hal ihwal kegentingan memaksa yang merupakan hak subyektif presiden," kata dia.

Iluni FHUI juga menuntut DPR untuk melaksanakan sejumlah hal. Pertama, mendesak DPR agar secara obyektif memperhatikan aspek materil maupun formil Perppu Cipta Kerja sebelum menyetujui atau menolak Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

"Dalam hal ditemukan adanya pelanggaran formil maupun materil dalam Perppu Cipta Kerja, Iluni FHUI meminta DPR untuk menolak persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi UU," kata Rapin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement