REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro mengkritik keras rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades), dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Menurutnya, rencana tersebut sama saja dengan mengembalikan era feodal alias masa di mana bangsawan atau raja berkuasa secara terus menerus.
Siti menjelaskan, ketika masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun, dan bisa menjabat dua periode atau tiga periode, tentu total masa jabatan seorang kades bisa mencapai 18 tahun atau 27 tahun. Masa jabatan yang amat panjang itu akan membuat sirkulasi elite tidak berjalan di desa.
Padahal, sirkulasi elite dengan memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang berkompeten untuk menjadi pemimpin adalah keharusan dalam sistem demokrasi. "Kalau langsung 9 tahun, lalu dipilih lagi 9 tahun, itu namanya sama saja dengan era feodal. Jabatannya terus menerus," kata Siti kepada wartawan, Selasa (24/1/2023).
Menurut Siti, masa jabatan kepala desa tidak usah diubah, tetap enam tahun. Dengan begitu, sirkulasi elite atau pergantian kepemimpinan akan berlangsung di desa.
"Kekhasan orang Indonesia itu, kalau tidak dipayungi dengan sungguh-sungguh (batasan masa jabatannya), dia maunya terus-menerus for life, untuk seumur hidup gitu," ujar Siti.
Lebih lanjut, Siti menilai masa jabatan kades sembilan tahun juga membawa banyak dampak negatif. Salah satunya adalah membuka peluang kades untuk korupsi lantaran dia punya kekuatan yang sangat besar berkat masa jabatan yang amat panjang.
Siti pun berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan kades bukan cara yang tepat memajukan desa. Menurutnya, pemajuan desa bukan ditentukan oleh durasi jabatan seorang kades, tapi oleh efisiensi kepemimpinannya.
Dia mencontohkan ihwal efisiensi ini dengan kinerja Tri Rismaharini memimpin Kota Surabaya. Dalam lima tahun periode pertama jabatannya, Risma dinilai bisa bekerja dengan efektif menata Kota Surabaya. "Jadi kepemimpinan itu persoalan efisiensi, bukan lama tidaknya masa jabatan," ujarnya.
Siti juga mematahkan argumentasi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar terkait perpanjangan masa jabatan kades ini. Halim sebelumnya menyatakan, perpanjangan masa jabatan diperlukan karena dua tahun awal kepemimpinan kades dihabiskan untuk mengurus perseteruan masyarakat akibat pilkades. Alhasil, selama dua tahun awal itu pembangunan desa tersendat.
"(Soal konflik usai pemilihan) apa bedanya dengan di kabupaten dan kota. Tidak seperti itu juga, karena masyarakat desa itu punya wisdom. Saya tahu karena saya ini anak desa," kata perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, itu.
Terkait konflik pasca-pemilihan ini, lanjut Siti, sebenarnya tergantung kepemimpinan kades itu sendiri. Kades yang mumpuni tentu bisa meredam konflik yang muncul, dan melaksanakan program-program pembangunan.
Pada Selasa (17/1/2023) lalu, ratusan kades menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun lewat revisi UU Desa.
Pada hari yang sama, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta. Usai bertemu, Budiman menyebut Presiden Jokowi setuju dengan tuntutan memperpanjang masa jabatan kades itu.
Kemarin, Senin (23/1/2023), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan agar masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun dengan maksimal tiga periode. Dengan begitu, seorang kades bisa menjabat selama 27 tahun. Untuk diketahui, UU Desa saat ini mengatur masa jabatan kades enam tahun dengan maksimal tiga periode, sehingga total 18 tahun.