REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei menyatakan, mayoritas pelajar/mahasiswa Indonesia di luar negeri belum mengetahui metode pemilihan untuk Pemilu 2024 mendatang. Hasil ini berdasarkan survei yang dilakukan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Italia bersama PPI Dunia Kawasan Amerika-Eropa serta Koalisi Pewarta Pemilu (KPP).
Pemapar kajian dari PPI Italia Erwin Natosmal Oemar mengatakan, berdasarkan pertanyaan terkait perolehan informasi pemilu, khususnya mengetahui terdaftar sebagai pemilih, 84,03 persen responden mengatakan tidak tahu.
"Ini jadi problem tersendiri, dari survei yang kami lakukan sebagian besar 84,03 persen mengatakan tidak tahu. Bahkan jika kita dalami lebih dalam soal metode dan cara menyampaikan suara pemilihan di luar negeri, 77,13 persen menyatakan tidak tahu juga," ujar Erwin dalam diskusi daring dengan topik "Persiapan, Tingkat Partisipasi, dan Tantangan Pemilu 2024 di Luar Negeri", Jumat (20/1/2023).
Erwin pun menyayangkan informasi tentang kepemiluan ini tidak selaras dengan survei tingkat partisipasi pelajar dan mahasiswa Indonesia pada Pemilu 2024 yang mencapai 94,96 persen. Menurutnya, tingginya tingkat partisipasi pemilu tidak diikuti dengan perolehan informasi yang memadai kepada para pelajar maupun mahasiswa Indonesia.
Karena itu, dia berharap temuan ini menjadi perhatian penyelenggara pemilu. Mulai dari KPU, Bawaslu, maupun perwakilan Indonesia di luar negeri. Menurutnya, ini penting mengingat metode pemilihan di Indonesia berbeda dengan di luar negeri.
"Di Indonesia kita mengenal dengan metode coblos langsung datang ke TPS (tempat pemungutan suara), tapi kalau dilihat dari pengalaman pemilu sebelumnya, (di luar negeri) ada tiga cara, yaitu dengan memakai surat, datang (ke TPS di KBRI), maupun dengan TPS keliling," ujarnya.
Selain itu, berdasarkan survei juga, kendala yang dialami pelajar dan mahasiswa dalam pesta demokrasi lima tahunan ini sebagian besar adalah informasi dengan persentase 57,63 persen. Kemudian, kedua, jarak dengan 32,20 persen dan waktu 5,93 persen serta sekitar 4,24 persen menjawab lainnya.
Dia melanjutkan, pelajar dan mahasiswa juga mengaku tidak mengetahui cara menyampaikan komplain atau keluhan terkait pemilu.
"Nah ini juga menarik, jawabannya hampir 87,39 persen bisa dikatakan 88 persen mengatakan tidak tahu. Ini tentu hal yang menarik kalau kita lihat lebih dalam kita lihat komparasi antara tingkat partisipasi yang tinggi tetapi juga ada problem tentang bagaimana jika mereka tidak mengetahui jika mereka terdaftar sebagai pemilih 2024," ujarnya.
Karenanya, dia menilai perlunya perhatian penyelenggara pemilu terhadap masih rendahnya pemahaman tentang cara motode pemberian suara di luar negeri. Dia khawatir minimnya pengetahuan ini membuat partisipasi pemilih di luar negeri menjadi rendah.
Dia juga berharap penyelenggara pemilu memperhatikan tata cara pemilihan di luar negeri bagi mahasiswa atau pelajar yang terkendala jarak dan juga waktu.
"Kita khawatir jika dengan satu metode sebut saja dengan coblos di mana TPS tersentralistik tersebut ada di KBRI, gimana kawan-kawan yang mempunyai kendala tentang jarak, waktu, dan biaya. Itu tentu perlu mendapat perhatian lebih," katanya.
"Kemudian soal bagaimana cara memberikan komplain atau mengeklaim pelanggaran yang terjadi terhadap mereka di luar negeri. Isu ini tentu harus menjadi perhatian besar bagi penyelenggara pemilu, baik Bawaslu dan KPU," ujarnya.
Survei ini dilakukan menggunakan probability sampling pada rentang 10-17 Januari 2023. Sebanyak 119 responden ikut serta dalam survei ini dengan tingkat pendidikan beragam. Pascasarjana mencakup 63,87 persen, mahasiswa sarjana 27,73 persen, di tingkat doktoral 5,04 persen, dan tingkat lanjut atau SMA dengan 3,36 persen.
Dari 119 responden merupakan pelajar/mahasiswa Indonesia yang 60,5 persen berdomisili di Italia, dan 39,5 persen berada di luar Italia. Sehingga dinilai cukup mewakili keberagaman demografi latar belakang dari responden.