REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti mengemukakan jaringan ekosistem kesehatan digital, yang kokoh adalah kunci sukses pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Kami berupaya menciptakan jaringan ekosistem kesehatan digital yang kokoh. Transformasi digital yang dilakukan BPJS Kesehatan telah menyumbang kontribusi besar dalam perubahan tatanan sistem kesehatan di Indonesia," kata Ghufron Mukti saat tampil menjadi pembicara dalam acara "Institute for Health and Wellbeing Research Seminar", yang diselenggarakan Coventry University, Inggris, Rabu (18/1/2023).
Ia mengatakan pelayanan tanpa tatap muka melalui berbagai kanal digital, sistem antrean online, konsultasi dokter online, telemedicine, hingga simplifikasi proses rujukan, terbukti kian memudahkan peserta JKN dalam mengakses layanan kesehatan.
Pada kesempatan tersebut, Ghufron dipercaya untuk mengenalkan BPJS Kesehatan, Program JKN, dan seluk beluk pengelolaan sistem jaminan kesehatan di Indonesia kepada seluruh civitas academica Coventry University.
"Kalau di Indonesia ada Program JKN, maka di Inggris ada National Health Service (NHS). Beda negara, tentu beda prinsip mekanisme pelaksanaannya," katanya.
Dari sisi pembiayaan, kata Ghufron, sumber pembiayaan JKN yang terbesar berasal dari iuran pesertanya, sedangkan NHS pembiayaannya bersumber dari pajak.
"NHS di bawah kementerian karena anggaran yang berasal dari pajak, sedang BPJS dananya adalah milik peserta, bukan semata APBN, sehingga bukan di bawah kementerian, tetapi langsung di bawah Presiden," katanya.
Ghufron yang juga menjabat sebagai Ketua TC Health International Social Security Association (ISSA), yang beranggotakan 160 negara ini, membandingkan beberapa hal terkait penyelenggaraan Program JKN dan NHS.
Di Indonesia, waktu tunggu jadwal operasi pasien JKN rata-rata kurang dari lima pekan, sementara di Inggris waktu tunggu jadwal operasi pasien NHS terbilang cukup lama, yakni 18 pekan.
Ia juga mengatakan bahwa dana di bidang kesehatan di Indonesia belum sebesar di Inggris."Salah satu tantangan jaminan kesehatan di setiap negara adalah masalah sumber dan besar dana kesehatan," ujarnya.
Di Indonesia, alokasi dana pemerintah untuk biaya kesehatan sekitar 5,4 miliar dolar AS, sementara di Inggris 150 miliar dolar AS. Di Amerika bahkan lebih tinggi lagi, yakni 980 miliar dolar AS.
Tantangan lainnya adalah ketersediaan tempat tidur rumah sakit dan tenaga medis yang belum ideal dengan kebutuhan, kata Ghufron.
Menurutnya, bukan hanya peserta JKN yang harus diakomodir kebutuhannya, melainkan juga termasuk fasilitas kesehatan, pemberi kerja, pemerintah, asosiasi, dan stakeholder lainnya.
Sementara itu, Deputy Vice Chancellor Research Couventry University Richard Dashwood mengatakan seminar bersama BPJS Kesehatan tersebut diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi kedua negara sekaligus mempererat kerja sama kelembagaan.
Dengan demikian, sistem kesehatan di Indonesia maupun di negara maju lainnya dapat terus meningkat dan berjalan kian baik ke depannya, kata Richard.
Ia mengatakan, Ghufron bukanlah sosok asing di Coventry University, sebab pernah dianugerahi Doctor Honoris Causa oleh Coventry pada 2017 sebagai pengakuan atas keahlian dan kepemimpinannya di bidang kesehatan.
Ia menyebut bahwa komitmen Ghufron dalam dunia kesehatan, khususnya jaminan sosial asuransi kesehatan, pelayanan kesehatan terkelola (managed care) dan pembiayaan kesehatan, tidak diragukan lagi.
Terbukti dengan perjalanan karirnya di dunia kesehatan dan akademisi serta berbagai publikasi internasional."Coventry bangga memiliki lulusan kehormatan sekaliber Prof Ghufron, kami berterima kasih atas dukungan beliau. Kami siap mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan pelayanan di BPJS Kesehatan yang lebih baik lagi, sehingga rekam jejak kerja sama dengan Coventry University bisa lebih kuat lagi," katanya.