Sabtu 14 Jan 2023 14:03 WIB

Mantan Ketua MK Dukung Pemilu Kembali Gunakan Sistem Proporsional Tertutup

Sistem proporsional terbuka dinilai gagal lahirkan wakil rakyat yang akuntabel.

Rep: Febryan A/ Red: Andri Saubani
Mantan ketua MK, Hamdan Zoelva mendukung pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup. (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika.
Mantan ketua MK, Hamdan Zoelva mendukung pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mendukung pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Menurutnya sistem proporsional terbuka terbukti gagal melahirkan wakil rakyat yang akuntabel, dan justru memperkuat kuasa uang. 

"Sudah waktunya kita kembali melaksanakan pemilihan umum yang lebih sederhana yaitu kembali kepada sistem proporsional tertutup," kata Hamdan lewat akun Twitter-nya, dikutip Sabtu (14/1/2023). Republika sudah mendapat persetujuan Hamdan untuk mengutip cuitannya ini. 

Baca Juga

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan. Pemenang kursi parlemen ditentukan oleh jumlah suara terbanyak. 

Sedangkan sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. 

Hamdan menjelaskan, sistem proporsional semi terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2004 dan sistem proporsional terbuka penuh yang dipakai sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, terbukti tidak memberikan dampak perbaikan bagi akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas wakil rakyat yang merupakan keunggulan sistem proporsional terbuka juga tidak terwujud. 

"Justru yang terbukti adalah kuasa uang dan oligarki menjadi lebih kuat. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh para founding fathers/mothers bahwa sistem demokrasi liberal melanggengkan kekuasaan kapitalisme," kata Hamdan.

Hamdan menjelaskan, kuasa uang dan oligarki menguat karena dua hal itu menjadi kekuatan utama untuk memenangkan pemilu dalam sistem proporsional terbuka. Ketergantungan kepada uang dan oligarki untuk menang ini selanjutnya membuat para anggota dewan bernafsu untuk mengembalikan modal ketika menjabat, yang pada akhirnya membuat banyak legislator terlibat kasus korupsi. 

"Sistem proporsional terbuka yang melanggengkan oligarki, tidak memungkinkan untuk mewujudkan demokrasi dan keadilan ekonomi yang dicita-citakan oleh konstitusi," ujar mantan anggota DPR periode 1999-2004, yang terpilih lewat sistem proporsional tertutup itu. 

Kendati begitu, Hamdan menyadari bahwa sistem proporsional tertutup punya kelemahan. Salah satunya adalah potensi dominasi elite partai dalam penentuan nomor urut caleg. Dia pun menawarkan solusi lanjutan, yakni mereformasi partai politik. 

"Kekhawatiran atas dominasi partai dalam menentukan nomor urut harus diantisipasi dengan demokratisasi internal parpol, dengan menjadikan parpol sebagai badan hukum milik publik, bukan milik elite partai. Parpol harus transparan dan diaudit BPK," ungkapnya. 

Mahkamah Konstitusi (MK) kini sedang memproses gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka. Para penggugat, yang salah satunya kader PDIP, meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional terbuka melanggar UUD 1945, dan mengembalikan penggunaan sistem proporsional tertutup. 

Gugatan uji materi ini belakangan menjadi 'bola panas' usai Ketua KPU RI ikut berkomentar. Delapan partai parlemen dan PSI mendukung sistem proporsional terbuka. Sedangkan PDIP dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendukung sistem proporsional tertutup. Alhasil, sejumlah partai dari kedua kubu tersebut mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang MK agar putusan hakim sesuai dengan keinginan kelompok masing-masing. 

MK akan menggelar sidang lanjutan atas gugatan uji materi sistem pileg ini pada Selasa (17/1/2023) depan. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perkara itu, MK akan meminta keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait KPU.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement