Kamis 12 Jan 2023 17:37 WIB

Pengakuan Jokowi Terhadap Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang Dinilai tak Cukup

Pengakuan Jokowi harus dilanjutkan membawa kasus HAM berat ke pengadilan.

Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) berbicara kepada media terkait pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Foto:

Tercatat ada 12 kasus pelanggaran HAM yang diputuskan oleh Komnas HAM dan diakui oleh tim PPHAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998. 

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat ini, pemerintah fokus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial.

Apalagi, pemerintah juga sudah membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM).

“Ini sekarang kita non yudisial dulu. Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi saya kira kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu,” jelas Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Yasonna mengatakan, terdapat sejumlah hal yang tidak bisa dilanjutkan dengan pro justicia. Namun, hal ini bukan berarti pemerintah tidak ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut dia, penyelesaian kasus HAM berat melalui jalur yudisial akan dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang ada.

“Ya (komitmen yudisial) itu kan nanti apa, tergantung data (dan) bukti-bukti yang ada,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga menyampaikan Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Mahfud menjelaskan, di dalam Undang-Undang disebutkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR. Sedangkan yang terjadi sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa.

“Tim ini tidak meniadakan proses yudisial,” kata Mahfud dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).

Menurut Mahfud, ada empat kasus pelanggaran HAM berat yang dibawa ke Mahkamah Agung dan dinyatakan ditolak karena tidak cukup bukti. Empat kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi setelah 2000.

“Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda dan kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi yang dinyatakan pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti,” jelas dia.

Mahfud mengatakan, berdasarkan Pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000, kasus pelanggaran HAM berat harus diproses yudisial karena tidak memiliki waktu kedaluwarsa. Karena itu pemerintah akan terus mengupayakan dan mempersilakan Komnas HAM bersama DPR untuk mencari jalan penyelesaian.

“Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian non-yudisial, bukan, yang yudisial silakan jalan,” kata Mahfud.

 

photo
12 Pelanggaran HAM Berat Masih Stagnan - (ANTARA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement