Senin 09 Jan 2023 16:52 WIB

Masjid Al Jabbar Dibangun Pakai APBD Sah, Tapi Dinilai Gagal Tujuan Utama SDGs

APBD Jabar sebaiknya diperlukan menata kawasan di Jabar.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyampaikan sambutan saat peresmian Masjid Raya Al Jabbar, Gedebage, Kota Bandung, (30/12/2022).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyampaikan sambutan saat peresmian Masjid Raya Al Jabbar, Gedebage, Kota Bandung, (30/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Mohammad Jehansyah Siregar, Ph.D menilai langkah yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, membangun Masjid Raya Al Jabbar dengan menggunakan dana APBD Jabar adalah sah. Namun ada baiknya APBD yang dimiliki Pemprov ini dipergunakan untuk menata kawasan di Jabar.

Jehansyah menilai selama Ridwan Kamil menjabat sebagai wali kota Bandung atau gubernur Jabar, tidak ada perubahan yang sangat berarti dalam pembangunan dan tata ruang di kota Bandung dan di kota-kota di Jabar. Pembangunan fisik dan elementer juga tidak terlihat selama Kang Emil berkuasa di Kota Bandung atau di Provinsi Jabar. Ia juga membangun Bandung Planning Gallery. Namun hingga saat ini pemanfaatannya dinilai Jehansyah belum optimal.

"Kang Emil pernah membuat rusunawa di Sadang Serang dan Rusunawa Rancacili. Namun skema yang tersebut tak berhasil dan mangkrak. Bahkan saya pernah sampaikan jangan sampai Rusunawa Rancacili dijadikan tempat shooting film Pengabdi Setan 3. Desain yang dibuat bagus namun mangkrak," kata Jehansyah.

Diakui Jehansyah, Kang Emil sangat senang dengan konsep smart city. Namun selama menjabat wali kota Bandung, belum bisa menjadikan Kota Bandung sebagai smart city. Menurut dia, harusnya dengan Kang emil bisa menjadikan Kota Bandung sebagai Conscious City. Bukan lagi smart city sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) ke 11 yaitu sustainable cities and communities.

 

"Selama ia menjabat sebagai Wali Kota Bandung ia hanya melakukan perbaikan sebagian kecil taman kota dan trotoar," ucap dia.

Bisa dikatakan pembangunan yang Kang Emil lakukan hanya kosmetik saja (City Beautification). Belum menyentuh hal yang fundamental yang menjadi kebutuhan masyarakat Bandung atau Jabar. "Harusnya APBD yang ada dapat dimanfaatkan lebih optimal menuju SDGs," kata Jehansyah.

Jehansyah juga menyoroti masih tingginya pengangguran, kawasan kumuh dan liar di Bandung atau di kota megapolitan lainnya di Provinsi Jabar. Contohnya saja masih banyak kawasan kumuh dan liar di sepanjang bantaran kali Cikapundung. Jehansyah mengakui memang masyarakat tak bisa menagih capaian yang instan dari Kang Emil ketika menjabat wali kota dan gubernur.

"Namun setidaknya kepala daerah sudah menghasilkan suatu sistim yang berkelanjutan. Itu yang dinamakan on the right track ke city without slums," ucap dia.

Jehansyah berkata, Kota Bandung belum mengarah ke city without slums. Contohnya penataan Taman Sari di Cikapundung. Tepatnya dibelakang Baltos.

"Sampai saat ini penataan itu belum juga selesai. Padahal sudah lebih 7 tahun. Padahal penataan itu hanya berdampak pada 168 KK. Belum lagi masalah badlock hunian di seluruh Bandung Raya yang mencapai 300 ribu KK. Harusnya ketika Kang Emil menjadi Gubernur Jabar, itu bisa ia selesaikan," ucap Jehansyah.

Dari sisi lingkungan, Jehansyah melihat belum ada gebrakan regulasi yang sangat berarti dari Ridwan Kamil. Seperti menyediakan minimal 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) di kota Bandung dan kota megapolitan lainnya di Jabar. Di Kota Bandung sendiri RTH masih di bawah 10 persen. Padahal penyediaan minimal 30 persen RTH merupakan amanat UU Tata Ruang dan Perda. RTH itu seharusnya dipusatkan di sepanjanga bantaran sungai.

Jehansyah menyayangkan Kang Emil tidak bisa memenuhi 30 persen RTH tersebut. Padahal penggembangan wilayah di luar kota Bandung sangat agresif. Menurut Jehansyah seharusnya dengan ia menjabat sebagai Gubernur Jabar dapat menggunakan alokasi APBD untuk menguasai tanah untuk membenahi kawasan kumuh dan memberikan hunian yang nyaman bagi warga kota Bandung dan Jabar.

Saat ini pembangunan kawasan di luar kota Bandung sangat agresif. Jehansyah menilai tak ada sama sekali intervensi pemerintah kota dan pemerintah provinsi untuk menguasai lahan untuk membenahi kawasan kumuh di kota Bandung.

Saat ini kawasan di luar Kota Bandung dikuasai konglemerat properti yang menggembangkan ke arah komersial. Sehingga Kang Emil dinilai Jehansyah gagal mengangkat masyarakat kelas bawah untuk tak tertinggal seperti yang ada di SDG's (no one left behind and no place left behind).

Dengan adanya APBD Pemprov Jabar yang cukup besar, seharusnya Pemrov Jabar dapat mengambil peran dalam penguasaan lahan tersebut. Bukan dipergunakan untuk pembangunan yang tak fundamental dan tak berpengaruh signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Jabar.

Seharusnya, kata dia, sebagai gubernur menurut Jehansyah, Kang Emil memiliki kewenangan yang lebih untuk mengatur lintas wilayah di Jabar. Minimal ada peran pemerintah untuk menguasai lahan di Jabar untuk penggembangan kawasan. Sebab tugas utama kepala daerah adalah memperhatikan serta memberdayakan masyarakat marginal yang berpenghasilan rendah.

"Artinya selama Ridwan Kamil menjabat sebagai wali kota Bandung belum punya strategi yang jitu dan efektif memenuhi amanat UU Tata Ruang tersebut. Ia belum memiliki strategi bagaimana meningkatkan RTH 30 persen Harusnya Kang Emil punya peran yang lebih ketika menjadi walikota Bandung dan Gubernur Jabar. Minimal ketika ia jadi walikota minimal ada pertambahan RTH 5 persen. Itu yang dinamakan on the right track," kata Jehansyah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement