Selasa 03 Jan 2023 20:55 WIB

Fraksi Gerindra Peringatkan Gubernur Sumbar Tentang Ancaman LGBT

Gerindra sebut angka LGBT di Sumbar termasuk tinggi di Indonesia.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengunjung melihat karya seni kaligrafi yang dipamerkan di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, di Padang, Selasa (19/4/2022). Taman Budaya Sumbar menggelar pameran kaligrafi bertajuk Merayakan Identitas dengan menampilkan karya dari 20 seniman di provinsi itu.
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Pengunjung melihat karya seni kaligrafi yang dipamerkan di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, di Padang, Selasa (19/4/2022). Taman Budaya Sumbar menggelar pameran kaligrafi bertajuk Merayakan Identitas dengan menampilkan karya dari 20 seniman di provinsi itu.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG- Ketua Fraksi Gerindra di DPRD Provinsi Sumatra Barat, Hidayat, mengingatkan Gubernur Sumbar, Mahyeldi mengenai ancaman pengaruh LGBT. Hidayat menyebut angka LGBT di Sumbar termasuk tinggi di Indonesia.

"Angka LGBT di Sumbar pada posisi tahun 2019 tercatat 18.000 orang. Meski belum ada laporan terbaru, namun populasi LGBT di Ranah Minang ini diperkirakan sudah semakin jauh lebih banyak," kata Hidayat di Padang, Selasa (3/1/2023).

Baca Juga

Hidayat menyebut perilaku LGBT dinilai tidak mencerminkan Sumbar sebagai daerah yang menganut Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Menurut dia, Gubernur Sumbar harus mengambil sikap agar persoalan sosial LGBT ini dapat ditekan.

"Ini juga menunjukkan kepedulian atau kepekaan gubernur terhadap masalah sosial dan agama yang tak terlihat, jika tidak mau dikatakan tidak ada. Menurut hemat kami, solusinya adalah pemerintah provinsi perlu duduk bersama dengan pemerintah kabupaten kota untuk penanganan persoalan-persoalan sosial dan agama ini," ucap Hidayat.

Selain masalah LGBT, Fraksi Gerindra Sumbar juga menyoroti masalah perceraian yang cukup tinggi. Sumatera Barat kata dia masuk dalam daftar 10 daerah dengan angka perceraian tertinggi di Indonesia.

Di mana Kementerian Agama Sumbar merilis, dari 45 ribu perkawinan, 8 ribu atau sekitar 20 persen diantaranya, berakhir dengan perceraian. Sedangkan BPS mencatat, pada tahun 2021 terjadi 9.371 kasus perceraian, dengan rincian 2.372 kasus Cerai Talak dan 6.999 kasus cerai gugat.

"Tinggi angka perceraian merupakan fenomena yang harus segera dicarikan solusinya. Pemprov melalui pihak terkait perlu merunut akar persoalannya, karena sebuah perceraian dipicu oleh banyak faktor, terutama kurangnya pengetahuan tentang keluarga Sakinah dan ketidakmampuan pasangan pengantin menata ekonomi," kata Hidayat menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement