Selasa 03 Jan 2023 08:29 WIB

Post Truth, Perang Algoritma: Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Post truth (ilustrasi)
Post truth (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI; Peneliti Indopol dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

 Pernyataan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin yang menyatakan industri media kita sedang dalam situasi tidak baik-baik saja menjadi alarm bahaya demokrasi. Pasalnya, kondisi kedaruratan tersebut diungkapkan setelah menggelar pertemuan dengan perwakilan insan pers sekaligus pimpinan media pada akhir tahun lalu (28/12/2022).

Pers menjadi salah satu pilar penting demokrasi. Di era masyarakat informasi, pers sudah semestinya menjadi sandaran kebenaran publik. Namun, di masa post-truth, kebenaran tengah dijungkirbalikkan. Fakta dimanipulasi, media ditunggangi kepentingan balik layar. Di sinilah eksistensi media perlu diselamatkan untuk kembali mengemban tugas suci pencerahan.

Bahaya Kemunduran Media

Media di berbagai literatur penting dunia terutama terkait teori efek menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam mengonstruksi realitas. Realitas ini dibentuk sebagai hasil persepsi khalayak memahami isi media. Media dalam konteks ini bukan hanya saluran informasi, melainkan seperti apa yang disebut McLuhan sebagai second hand reality. Artinya, media telah menyeleksi apa-apa saja yang layak dikonsumsi, dunia telah ditafsir oleh media.

Di tengah media di satu sisi dipaksa untuk beradaptasi dengan perkembangan telnologi, di sisi lain paradoks media berada di pusaran tarik menarik kepentingan antara industri dan politik. Independensi media diuji oleh eksistensinya sendiri di antara tunduk pada imperatif pemodal, penguasa dan viralitas media baru yang terus berkelindan.

Tantangan klasik pengelolaan pers berkaitan dengan soal pendapatan tak terelakkan. Mengingat dari proyeksi pendapatan tersebut tak hanya memengaruhi sirkulasi arus produksi media, melainkan juga kesejahteraan wartawan. Selain itu, pergesaran media massa ke media sosial sebagai sumber informasi juga mereduksi ceruk audiens sekaligus memangkas pemasukan media arus utama. Tak heran jika kondisi tersebut mengarahkan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan memengaruhi kualitas pers. Hal tersebut tercermin dari indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2021 yang relatif belum maksimal di angka 76,02, atau hanya ada peningkatan tidak signifikan sekitar 0,75 dari tahun sebelumnya.

Kemunduran media adalah kemunduran peradaban. Matinya nalar dan nurani dalam produksi informasi sama dengan meruntuhkan hakikat kebenaran. Ketika berita dan publisitas cenderung by order dan by design, eksistensi pers tak lebih hanya sekedar melegitimasi status quo. Jika benar situasi ini yang dominan dialami insan pers, media bukan lagi sekedar dalam keadaan darurat, tapi media telah mengalienasikan dirinya sendiri dan mengubur peran utamanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement