Selasa 03 Jan 2023 08:29 WIB

Post Truth, Perang Algoritma: Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Post truth (ilustrasi)

Post-truth dan Perang Algoritma

Pers tak hanya bergelut dengan situasi internal, tantangan post-truth dan perang algoritma perlu penyikapan tersendiri. Demokrasi di era digital membuka ruang gerak media yang semakin terbuka. Bukan hanya untuk media sebagai institusi, tapi setiap individu memungkinkan bisa menjadi kanal media. Clay Shirky menyebut dengan istilah “Everyone is a media outlet”.

Ketika semua pihak berpotensi memproduksi informasi, sumber kendali media semakin beragam. Christian Fuchs mengingatkan agar tak terjebak pada situasi krisis kebenaran akibat post-truth, perlu jalan humanisasi media. Artinya logika media tidak diarusutamakan sebagai pelayan kapital, tapi untuk kebaikan bersama (bonum commune).

Belum lagi ketika perang algoritma turut mengendalikan realitas dan laku budaya, media mempunyai pekerjaan rumah tambahan. Media sekali lagi akan diuji oleh zaman, apakah mau berpegang teguh pada misi atau terjebak pada komodifikasi.

Selain itu, perangkat regulasi yang belum memadai termasuk Undang-Undang Penyiaran yang masih perlu penyesuaian menjadi tantangan tersendiri untuk memastikan eksistensi media sebagai pilar demokrasi tetap terjaga. Saya sependapat dengan pandangan Wapres KH Ma’ruf Amin, untuk menjaga eksistensi pers sebagai pilar demokrasi perlu adanya solusi terkait upaya membangun keseimbangan baru melalui berbagai aturan yang bisa memberikan perlindungan pada media kita. 

Namun demikian, apa pun itu semua, panggilan media untuk kembali ke misi utamanya adalah tugas besar peradaban, catatan sejarah. Menurut hemat saya kekalahan terbesar insan pers sejatinya bukan pada perangkat teknologi atau substitusi platform, tapi mematikan logika jurnalistik untuk bekerja sebagai mana mestinya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement