Jumat 30 Dec 2022 20:12 WIB

PAN Minta MK Hati-Hati Putuskan Sistem Tertutup

Saleh merasa heran ada yang ingin mengubah sistem yang sudah sesuai keinginan rakyat.

 Anggota Komis IX DPR RI/F-PAN Saleh Partaonan Daulay.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Anggota Komis IX DPR RI/F-PAN Saleh Partaonan Daulay.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay meminta, Mahkamah Konstitusi (MK) berhati-hati dalam memutuskan perkara penggunaan sistem Pemilu 2024. MK diharapkan berdiri secara tegak dan adil dalam mengadili perkara tersebut.

"Jangan sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil karena lebih memilih salah satu sistem daripada yang lainnya," kata Saleh melalui keterangan resminya, Jumat (30/12/2022).

Baca Juga

Sejak 2008, sistem pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada putusan MK tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.

"Keputusan MK itu sudah benar. Buktinya, sudah dipakai berulang kali dalam pemilu kita. Setidaknya pada pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sejauh ini tidak ada kendala apa pun," kata dia.

Masyarakat juga, kata dia, menerimanya dengan baik sistem tersebut. Partisipasi politik anggota masyarakat juga dinilai tinggi. "Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas," kata dia.

Ketika membacakan pertimbangan majelis, Hakim Konstitusi saat itu, Arsyad Sanusi menyampaikan argumen bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.

Bahkan lebih lanjut Arsyad kala itu mengatakan, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurutnya, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

"Argumen itu jelas tertuang dalam pertimbangan hukum majelis ketika itu. Tentu sangat aneh, jika argumen bagus dan rasional seperti itu dikalahkan. Apalagi, putusan MK itu kan sifatnya final dan mengikat," katanya.

Saleh merasa heran kenapa setelah keputusan final dan mengikat serta sudah dipraktikkan, masih ada yang mau diubah. Menurut dia, itu menandakan ada yang memiliki agenda besar di dalam pengujian pasal sistem pemilu tersebut.

"Saya tentu tetap berharap agar para hakim konstitusi tetap konsisten dengan putusan yang sudah pernah dibuat oleh para hakim sebelumnya. Ini penting untuk menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan kita. Terutama kepada Mahkamah Konstitusi yang lebih dikenal sebagai the guardiance of the constitution," kata dia.

Dalam konteks pengujian UU Pemilu di MK, kelihatannya ada beberapa isu strategis lain yang tidak dikabulkan oleh MK. Salah satu di antaranya adalah pengujian pasal terkait presidential threshold. Ada banyak lembaga dan elemen yang sudah mengajukan JR untuk menghapus Presidential Threshold tersebut. Tetapi, MK tidak pernah mengabulkannya.

"Ada apa ini? Yang nyata berpihak pada rakyat seperti ini tidak dikabulkan? Yang sesuai dan sejalan dengan keinginan rakyat malah mau diganti? Ini yang menjadi desas-desus di tengah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh para hakim MK. Kalau memakai pendekatan rasionalitas dan hati nurani, sepertinya suara dan keinginan rakyat haruslah didahulukan oleh MK," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement