REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini mengenang budayawan Ridwan Saidi sebagai sosok yang humoris tapi kritis. Ridwan Saidi kerap kali melontarkan kritikannya dengan cara yang lembut bahkan diselipkan dengan candaan.
Didik mengenal sosok mantan Ketua HMI era 1974 - 1976 itu ketika ia masih duduk di bangku universitas. Saat itu, Ridwan Saidi sudah malang melintang sebagai anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Saya kenal secara pribadi sebagai aktivis HMI dan berinteraksi terus menerus setidaknya 2-3 tahun pada 1983-85 sebelum saya melanjutkan kuliah S2 dan S3. Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat, tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yahng diktiriknya,” kata Didik dalam siaran pers, Ahad (25/12).
Termasuk di era ordebaru, Ridwan Saidi termasuk anggota DPR yang vokal mengkritisi pemerintah ketika itu. Tetapi dia punya cara tersendiri untuk menyampaikan pendapatnya.
“Kritik Bang Ridwan lebih lunak dan lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi untuk ditangkap,” kata Didik.
Berbeda dengan kelompok Petisi 50, yang langsung ditumpas oleh Orde Baru karena frontal head to head dengan Soeharto.
Kekuatan opposisi tidak ada artinya di tengah kekuatan politik otoriter pada waktu itu. Tetapi kritik-kritik yang dilontarkan memberikan pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yahng berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif.
“Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi,” ujarnya
Praktis seumur hidupnya Ridwan Saidi berada di luar lingkar kekuasaan dan tidak menyesal memainkan peranan kritis terhadap kekuasaan tersebut.
Ridwan Saidi adalah aktivis HMI lulusan Universitas Indonesia, yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang bersamaan dengan perubahan besar di negeri ini, mulai dari Orde Lama, Rovolusi Kudeta PKI dan Orde Baru, masa transisi sulit kejatuhan Orde Baru, sampai masa demokrasi bebas sekarang ini.
Ketika hampir dua dekade pasca reformasi, Demokrasi mengalami kemunduran Ridwan Saidi bersuara di publik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya. Tindakan penangkapan sejumlah aktivis seperti Ahmad Dhani, Buni Yani dan Slamet Ma'arif dan lain-lain diyakini dengan perlakuan hukum diskriminatif.
“Penegakan hukum era Jokowi akan menjadi sorotan internasional, terutama Komnas HAM Internasional,” ujarnya.
Tidak hanya beberapa orang tersebut, banyak ulama, aktivis Jumhur Hidayat dan Dr Syahganda Nainggolan diberangus aparat hanya gara-gara posting wa kritis terhadap pemerintah. Aura pemerintahan yang otoriter mulai kelihatan karena konsolidasi kekuasaan hampir mutlak seperti di parlemen menguasai 82 persen dan aparat berpusat kepada presiden.
“Menurut saya figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter,” ungkapnya.
Tidak hanya kritik masalah politik, Ridwan Saidi juga mengkritik masalah pembangunan dengan mengatakan bahwa pemerintah boleh saja mempunyai rencana memindahkan ibu kota ke wilayah manapun. Namun, ia ragu langkah tersebut tidak akan terealisasi karena tidak didukung rakyat. Kalau gagasan yang jumpalitan tidak jelas dan terburu-buru biasanya kagak bakal jalan.
Meskipun selalu kritis, Ridwan Saidi juga bisa memuji pemerintah dalam hal ini Jokowi sebagai Gubernur DKI. Ridwan Saidi, salut terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang memiliki kepedulian untuk membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pembangunan kampung Betawi sangat baik untuk melestarikan budaya Betawi yang mulai terancam eksistensinya. Di Singapura saja ada kampung Melayu, yang dipelihara.