Rabu 21 Dec 2022 14:58 WIB

WHO Catat Polio Indonesia Wabah yang Diwaspadai, Prof Tjandra: Perlu Diplomasi Kesehatan

Polio sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal di tengah masyarakat.

Petugas kesehatan memberikan vaksin polio kepada anak di Puskesmas Desa Lampuyang yaitu wilayah terluar di Pulau Beras, Kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (6/12/2022). Pemerintah menargetkan pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi (PIN) Polio di provinsi Aceh tersebut tuntas dalam waktu sebulan dengan menyasar 1,2 juta anak.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat penyakit polio yang terjadi di Indonesia sebagai "diseases outbreak news" (DONs) atau wabah penyakit yang perlu diwaspadai. Sebab, polio sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal di tengah masyarakat setempat.

Dalam pernyataan resmi yang dilansir di Jakarta, Rabu (21/12/2022), WHO mencantumkan judul "Circulating Vaccine-Derived Poliovirus Type 2 (cVDPV2) Indonesia" terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus Polio di Indonesia. Pernyataan tersebut diterbitkan pada 19 Desember 2022.

Baca Juga

Dalam keterangan tersebut juga dijelaskan secara rinci kasus polio yang terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh, berikut serangkaian tindakan yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia. Pada awal November 2022, Kementerian Kesehatan RI mengumumkan temuan satu kasus polio di Kabupaten Pidie.

Selanjutnya, pemerintah melakukan upaya penelusuran epidemiologi di sekitar tempat tinggal pasien dan kembali ditemukan kasus serupa yang menjangkiti tiga anak balita. Ketiganya tidak mengalami gejala lumpuh layuh mendadak (acute flaccid paralysis/AFP).

Kemenkes kemudian berupaya menekan laju kasus polio melalui program vaksinasi polio yang menyasar sekitar 1,2 juta jiwa anak berusia di bawah 12 tahun. Mereka tersebar di 23 kabupaten/kota Provinsi Aceh.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menjelaskan dua alasan yang menyebabkan polio di Aceh sudah bersirkulasi dan menular di masyarakat. Pertama, karena ada beberapa sampel kasus yang diperiksa, ternyata saling berhubungan secara genetik.

Alasan kedua, laporan pemeriksaan laboratorium sekuensing dari Bio Farma menunjukkan perubahan 25 senyawa organik nukloetida pada pasien dengan kasus lumpuh layuh. Lalu, ditemukan perubahan nukleotida 25 dan 26 pada kasus yang tidak bergejala atau asimtomatik.

"Keadaan dinyatakan sudah bersirkulasi di masyarakat, makanya ada abjad c di depan VDVP2, yaitu virus penyebab KLB ini," katanya.

Prof Tjandra yang kini menjabat direktur Pasca Sarjana Universitas Yarsi mengatakan, setidaknya ada dua dampak yang muncul bagi negara berstatus kasus importasi cVDPV2 yang sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal. Pertama, perlu menyatakan KLB sebagai masalah kegawatan kesehatan nasional.

Kedua, penduduk setempat serta orang asing yang menetap dalam jangka waktu panjang disarankan untuk mendapatkan Vaksin Polio Injeksi (IPV) minimal dalam empat pekan hingga 12 bulan sebelum bepergian ke luar negeri. Dua hal itu adalah anjuran WHO berdasarkan rekomendasi dalam pernyataan (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC), menurut Prof Tjandra.

"Kedua hal itu tentu punya dampak amat luas kalau memang akan diberlakukan, karena itu sejak sekarang harus dicari jalan keluar terbaiknya. Setidaknya, diperlukan diplomasi kesehatan internasional," ujar Prof Tjandra yang juga mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Penyakit dan Mantan Kepala Balitbangkes Kemenkes RI.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement