REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah hakim agung dan pegawai Mahkamah Agung (MA) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap penanganan perkara. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengaku, tidak memiliki resep atau solusi untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.
"Sebenarnya kalau aku ditanya tuh sudah ndak punya resep (solusi) lagi. Karena sudah diduga terlanjur merebaknya dugaan korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain di MA," kata Boyamin saat dihubungi Republika, Senin (19/12/2022).
Meski demikian, Boyamin menyebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh MA untuk mengantisipasi anggotanya terlibat dugaan suap. Salah satunya, yakni melakukan regenerasi terhadap hakim maupun nonhakim melalui proses rekrutmen secara transparan.
"Setidaknya kalau mau potong satu generasi dan kemudian diganti dengan yang baik, dengan seleksi yang benar, tidak transaksional di pansel (panitia seleksi), tidak transaksional di DPR," jelas dia.
Selain itu, menurut dia, keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi kinerja hakim MA juga perlu diperkuat. Termasuk saat proses rekrutmen hakim agung.
"Beberapa hal yang sungguh bisa dicermati ini hal-hal yang diduga penyimpangan, maka ya nanti rekrutmen harus benar. KY kita harus perkuat dan kalau perlu sepenuhnya KY yang melakukan rekrutmen hakim agung, enggak perlu melibatkan DPR lagi. Karena diduga di DPR itu kemudian terjadi transaksional. Jadi saya kira itu resepnya (solusi) ya," ungkap Boyamin.
Sebelumnya, KPK resmi menahan Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti di Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo (EW). Penahanan ini dilakukan setelah dia ditetapkan sebagai tersangka baru atas dugaan suap penanganan perkara.
Edy bakal ditahan hingga 7 Januari 2023. Dia akan mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih. Dalam kasus ini, Edy diduga menerima uang suap hingga Rp 3,7 miliar secara bertahap. Pemberian uang ini terkait gugatan kasasi yang diajukan oleh Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar (SKM) agar tidak dinyatakan pailit.
Kasus yang menjerat Edy Wibowo merupakan pengembangan dari penangkapan Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati pada September 2022 lalu. Sudrajad diduga menerima uang suap sebesar 202 ribu dolar Singapura atau setara Rp 2,2 miliar untuk memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan ini diajukan oleh dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto.
Selain Sudrajad, KPK juga menetapkan sembilan tersangka lainnya dalam kasus ini. Lima diantaranya merupakan pejabat dan staf di MA, yakni Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua PNS MA, yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Kemudian, empat tersangka lainnya, yakni dua pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES); serta dua pihak swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Tak sampai disitu, KPK terus melakukan pengembangan penyidikan yang melibatkan pejabat di MA. Setelah menahan Sudrajad, KPK juga menetapkan Hakim Agung, Gazalba Saleh sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA pada awal Desember 2022.
Gazalba diduga melakukan pengondisian terhadap putusan kasasi Budiman Gandi Suparman selaku pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana yang berkaitan dengan konflik di internal koperasi tersenut. Saat itu, Gazalba menjadi salah satu anggota majelis hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara terdakwa Budiman. Dalam putusannya, Budiman dihukum pidana selama lima tahun.
Putusan ini didasari dengan adanya kesepakatan pemberian uang sebesar Rp2,2 miliar atau 202 ribu dolar Singapura. Diduga pemberian itu dilakukan pengacara koperasi Intidana, Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) dengan menggunakan uang yang berasal dari Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Heryanto Tanaka.
YP dan ES menyerahkan uang pengurusan perkara di MA tersebut secara tunai sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura melalui PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria. KPK pun masih mendalami soal pembagian uang tersebut.
Selain Gazalba, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya. Mereka adalah Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti pada Kamar Pidana MA RI dan asisten Gazalba, Prasetio Nugroho (PN); dan staf Gazalba, Redhy Novarisza (RN). Dengan demikian, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA sebanyak 14 orang.