Selasa 20 Dec 2022 07:08 WIB

Pakar Ungkap Penyimpangan dalam Sidang Helikopter AW-101

Kasus ini bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway saat menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway saat menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli perhitungan kerugian negara sekaligus ketua tim forensik akuntansi KPK, Kiki Fauziah dihadirkan dalam sidang kasus pengadaan helikopter angkut AW-101 untuk TNI AU. Kasus ini menjerat Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway. 

Dalam keterangannya sebagai ahli, Kiki memaparkan sejumlah penyimpangan dalam pengadaan helikopter AW-101. Salah satunya, Kiki menyoal pemberian dana komando. 

Berdasarkan penelusuran rekening koran atas nama PT DJM tanggal September ada setoran Rp 18 miliar dilakukan yang diidentifikasi sebagai pengadaan tahap 1 helikopter. Padahal, nilai pembayaran seharusnya Rp 436 miliar kalau merujuk kalkulasi. 

"Selisih pembayaran yang seharusnya dari yang masuk, dari informasi yang kami terima itu dana komando," kata Kiki dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (19/12). 

Kiki menganalisa, pemberian uang itu melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) terkait pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista). 

"Hal ini nggak sesuai aturan Permenhan yang menyatakan tidak terima, tawarkan, beri hadiah dan apa saja yang patut diduga berkaitan pengadaan alutsista," lanjut Kiki. 

Kejanggalan berikutnya, Kiki menyebut skema pembayaran kontrak tidak sesuai ketentuan. Ia menyebut pengadaan helikopter AW-101 menggunakan skema pembayaran 60 persen-20 persen-10 persen-10 persen, sehingga totalnya menjadi empat tahap. 

"Ditemukan pembayaran untuk termin 1 dilakukan dalam kurun 38 hari setelah tandatangan kontrak. Padahal minimal perlu 12-16 bulan. Penyelesaiannya 60 persen nggak mungkin dalam 38 hari. Jadi skema nggak sesuai tahapan yang real," ujar Kiki. 

Selanjutnya, Kiki menemukan spesifikasi pengadaan helikopter AW-101 yang tidak sesuai. Helikopter AW-101 yang didatangkan diantaranya tak mempunyai support strecher dan cargo door. 

"Tujuan pengadaan heli angkut nggak terpenuhi sejak tahap perencanaan sampai hasil pengadaannya," sebut Kiki. 

Kiki melanjutkan, sejumlah penyimpangan tersebut menjadi alasan utama penentuan perhitungan kerugian negara lewat metode kerugian total. Dari penghitungan secara keseluruhan, jumlah yang keluar dari kas negara senilai Rp 738 miliar. 

"Kerugian negara senilai 738 miliar (setelah dikurangi pajak). Ada pengembalian Rp 31 miliar ke kas negara. Rp 139 miliar merupakan pembayaran termin 3-4 yang masih berada di rekening lintas AU dan sudah diblokir penyidik. Ini tidak kurangi kerugian negara, tapi dapat jadi pengembalian keuangan ke kas negara," ucap Kiki. 

Sebelumnya, kasus ini bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun dimana salah satu peruntukkannya bagi pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden senilai Rp742 miliar pada 2015. 

Irfan didakwa salah satunya memperkaya eks KSAU Agus Supriatna lewat dana komando sebesar Rp 17,7 miliar. 

Sehingga, Irfan didakwa melanggar pasalnPasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement