Senin 19 Dec 2022 02:04 WIB

Lampu Kuning untuk Bawaslu dan KPU

PSHK UII merekomendasikan Bawaslu untuk mengambil langkah konkrit.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Lampu Kuning untuk Bawaslu dan KPU (ilustrasi).
Foto: republika
Lampu Kuning untuk Bawaslu dan KPU (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu. KPU memutuskan terdapat 17 parpol di tingkat nasional yang memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu 2024.

Pusat Studi Hukum Konstitusional Universitas Islam Indonesia (PSHK-UII) menyayangkan, terjadi indikasi kecurangan dalam proses verifikasi faktual. Padahal, verifikasi faktual jadi salah satu rangkaian dalam proses penetapan.

Baca Juga

Untuk itu, PSHK UII merekomendasikan Bawaslu untuk mengambil langkah konkrit atas indikasi kecurangan dalam proses penetapan peserta pemilu. Kemudian, turut melakukan pengawasan secara ketat kepada setiap proses pemilu 2024 ke depannya.

Kemudian, KPU perlu membuka data hasil verifikasi faktual secara transparan dan akuntabel, Mengambil langkah hukum pelaku yang melakukan kecurangan, memperbaiki tata kelola verifikasi agar lebih efektif dan tidak mudah terjadi kecurangan.

Kepada parpol yang dirugikan dapat mengambil langkah hukum dengan gugatan atas Keputusan KPU tentang Penetapan Peserta Pemilu ke Bawaslu. Lalu, masyarakat yang memiliki bukti kecurangan dapat menyampaikan ke publik atau posko yang dibentuk.

Peneliti PSHK UII, Addi Fauzani mengatakan, indikasi kecurangan dalam verifikasi faktual dapat saja dilakukan KPU maupun unsur non-KPU. Salah satunya berbentuk praktek-praktek ketidaksesuaian data rekapitulasi hasil verifikasi faktual.

"Antara kabupaten/kota dengan provinsi beberapa daerah. Data yang ditetapkan di rapat pleno KPU kabupaten/kota menunjukkan sejumlah parpol tidak memenuhi syarat. Namun, rekapitulasi berjenjang provinsi, data itu berubah jadi memenuhi syarat," kata Addi, Ahad (18/12).

Amanat Pasal 22E ayat (1) pemilu harus dilakukan jujur dan adil. KPU, Bawaslu dan DKPP, Pasal 3 UU 7/2017, harus menjalankan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, akuntabel, proporsional, profesional dan efisien.

"Indikasi kecurangan yang terjadi pada tahapan verifikasi faktual terhadap parpol baik yang dilakukan KPU telah jelas-jelas melanggar amanat konstitusi dan UU Pemilu tersebut," ujar Addi.

Peneliti PSHK UII lain, Aprilia Wahyuningsih menuturkan, tahap verifikasi parpol salah satu fase paling krusial karena KPU menentukan nasib parpol untuk menjadi peserta pemilu. Serta, penyaringan awal bagi pemilih terhadap kelayakan parpol.

Mekanisme verifikasi tersebut telah diatur secara ketat dalam Pasal 173-Pasal 178 UU Pemilu dan peraturan turunannya. Maka itu, ia berpendapat, pelanggaran atas mekanisme itu berakibat ke cacatnya prosedur penyelenggaraan pemilu.

Khususnya, dalam proses penetapan peserta, sehingga. pihak-pihak yang dirugikan dapat mengambil langkah hukum yang tersedia. Kemudian, kecurangan dalam proses verifikasi faktual dapat saja terjadi akibat reduksi kewenangan Bawaslu.

"Bawaslu yang seharusnya menjadi pengawas, tapi hanya jadi pendamping sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022," kata Aprilia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement