REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menilai kasus HAM berat Paniai punya kemungkinan kembali diusut. Hal ini guna menjamin terwujudnya keadilan bagi para korban.
Direktur Riset dan Publikasi Pusham UII Despan Heryansyah menduga kasus Paniai masih bisa dibuka lagi dengan dua skema. Pertama, ada tersangka baru pada kasus yang sama karena hakim sudah menyebut dalam putusannya meskipun tidak menjelaskan dengan detail siapa atau jabatan, pangkatnya apa. "Juga masih ada jalan banding dan kasasi untuk jaksa jika tidak puas dengan putusan," kata Despan kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).
Despan menyampaikan, sejak awal sidang kasus HAM Paniai memang diragukan. Apalagi terdakwanya hanya satu orang. Despan juga meyakini KUHAP yang digunakan dalam kasus Paniai turut mempengaruhi kualitas sidang. "Pelanggaran HAM di UU 26 tahun 2000 itu tidak akan berhasil jika hukum acaranya masih menggunakan KUHAP (lama), pelanggaran HAM itu kan ekstra ordinary crime sementara KUHAP untuk ordinary crime," ujar Despan.
Sehingga, Despan mengusulkan supaya Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diperbaiki lebih dulu. Dengan begitu, ia berharap sidang kasus HAM di kemudian hari bisa lebih maksimal. "Jadi sebetulnya daripada memaksakan pengadilan (HAM) dengan UU yang ada, lebih baik revisi UU 26 dulu karena hasilnya nggak akan jauh beda (kalau pakai UU HAM lama)," ucap Despan.
Sebelumnya, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12). Isak merupakan terdakwa tunggal dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai pada 2014. Majelis hakim meyakini Isak tak terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam kasus Paniai.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua," kata Hakim Ketua Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut.
Atas dasar itulah, Majelis Hakim meyakini Isak Sattu pantas dilepaskan dari semua tuntutan. Sebab Isak dianggap tak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana dalam tuntutan Jaksa. "Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan," ujar Sutisna.
Awalnya, Isak Sattu dituntut penjara sepuluh tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Namun Isak divonis bebas karena dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tak terbukti.
Kemudian dakwaan kedua Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tak terbukti.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014. Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.