Rabu 07 Dec 2022 14:06 WIB

AJI Tuntut 17 Pasal Bermasalah di KUHP Dihapus

Pasal itu berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah wartawan tengah mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW). (Ilustrasi)
Foto: Sandy Ferdiana/Republika
Sejumlah wartawan tengah mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar aksi secara luring dan daring di berbagai kota pada 4-5 Desember 2022, menolak pasal-pasal bermasalah di KUHP. Acara ini dilakukan di Jayapura, Manokwari, Lhokseumawe, Semarang dan Padang.

Kemudian, di Bandar Lampung, Bandung, Medan, Jakarta, Samarinda, Yogyakarta, Kediri, Surabaya, Jambi, Manado, Makassar dan Sukabumi. Aksi rencananya akan terus dilakukan hingga 7 Desember 2022 di puluhan kota lain di Indonesia.

"AJI menemukan 17 pasal yang masih bermasalah dalam draf RKUHP versi 30 November 2022 yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi," kata Ketua Umum AJI, Sasmito, Rabu (7/12/2022).

Pasal 188 yang mengatur tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220, tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Pasal 240 dan Pasal 241, tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 263 tindak pidana penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 264, tindak pidana kepada setiap orang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau tidak lengkap.

Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Pasal 436 tentang tindak pidana penghinaan ringan.

Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan. Selain itu, AJI turut merasa pembahasan RKUHP tidak transparan.

Lalu, tidak memberikan ruang kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara bermakna. Pemerintah dan DPR belum pernah menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang diambil terkait masukan-masukan dari publik, termasuk komunitas pers. 

"DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan RKUHP karena akan memberangus kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. AJI akan terus bersuara sampai pasal-pasal bermasalah dihapus," ujar Sasmito.

Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu menilai, rencana pengesahan RKUHP merupakan ancaman kemerdekaan pers karena banyaknya pasal bermasalah. Ia merasa, pidana pers dalam RKUHP mencederai regulasi yang sudah diatur UU 40/1999 tentang Pers.

"Upaya kriminalisasi dalam RKUHP tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Pers karena unsur penting berdemokrasi dengan kemerdekaan berbicara, kemerdekaan berpendapat serta kemerdekaan pers. Karena, itu mewujudkan kedaulatan rakyat," kata Ninik.

Dia menegaskan, dalam kehidupan demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan HAM yang sangat hakiki. Dewan Pers telah pula menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Dewan Pers menyampaikan kalau RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan pers dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. Dia menekankan, kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat seharusnya tercermin dalam RKUHP yang baru.

"Karena, kemerdekaan pers menjadi unsur penting menciptakan kehidupan bermasyarakat yang demokratis," ujar Ninik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement