REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengkritisi cara pengusulan Komisi Yudisial (KY) terhadap pasal-pasal RKUHP. Arsul menyebut KY tak melancarkan strategi yang bagus hingga nyaris semua usulannya dimentahkan.
Arsul menyebut seharusnya KY lebih sering berkomunikasi dengan DPR RI bila mempunyai masukan terhadap sebuah undang-undang. "Kalau KY bilang sudah sampaikan kepada Pemerintah, berarti KY tidak paham bahwa menurut UUD 1945 pembentuk UU itu bukan pemerintah. Justru titik beratnya ada pada DPR sebagai legislator yang membahasnya bersama Pemerintah," kata Arsul kepada Republika, Kamis (1/12/2022).
Arsul menyampaikan pentingnya usulan yang diberikan KY kepada DPR RI secara resmi dan kontinu. Sebab DPR RI, lanjut Arsul, nantinya bisa membantu memperjuangkan usulan tersebut kepada Pemerintah.
"Kalau KY hanya kasih usul disampaikan kepada Pemerintah tapi tidak dibarengi dengan penyampaian kepada DPR, risikonya kalau tidak dipertimbangkan oleh pemerintah maka tidak bisa DPR mengingatkan (pemerintah). Karena DPR tidak tahu KY usul apa," ujar Arsul.
Arsul menyinggung kegigihan kelompok masyarakat sipil dalam memperjuangkan usulan RKUHP versi mereka. Arsul menyebut kelompok itu menemui semua pihak menyangkut RKUHP yaitu unsur pemerintah dan DPR guna menggolkan keinginannya.
"Coba ditiru kalangan masyarakat sipil, mereka pergi baik ke pemerintah maupun DPR. Sehingga ketika usulannya tidak diakomodasi oleh pemerintah maka masih punya ruang diakomodasi via suara DPR," ucap Wakil Ketua PPP itu.
Arsul lantas menyentil strategi KY dalam mengusulkan pasal-pasal di RKUHP. "KY kalah cerdik deh sama LSM-LSM itu," sebut Wakil Ketua MPR tersebut.
Di sisi lain, Anggota KY Binziad Kadafi memantau perubahan susunan Pasal yang diberi masukan oleh KY. Yaitu dari semula Pasal 278 menjadi Pasal 280. Sementara Pasal 279 tetap, namun dengan susunan ayat berbeda.
Untuk Pasal 279 ayat (1) tindakan membuat gaduh di dekat ruang sidang masih diatur sebagai tindak pidana, sementara masukan KY adalah dengan mengatasi ini lewat penerapan protokol pengamanan persidangan dan pengadilan yang lebih ketat.
Lalu di Pasal 279 ayat (2) tindakan membuat gaduh di dalam sidang masih tetap dengan rumusan semula dengan sanksi penjaranya adalah 6 bulan. Berdasarkan masukan KY ancaman sanksi ini akan mengeluarkan tindak pidana ini dari skema tindak pidana ringan, yang berdasarkan KUHAP penegakannya bisa lebih sederhana (terdakwa dihadapkan ke pengadilan cukup oleh penyidik, bukan penuntut, hakim yang menyidangkan cukup hakim tunggal, dan putusan hanya perlu dicatakan dalam buku register).
"Karena itu masukan KY sanksi pidananya diatur menjadi 3 bulan kurungan/penjara (dari semulai hanya 3 minggu penjara berdasarkan Pasal 217 KUHP), agar bisa menimbulkan efek jera, tetapi tidak mengeluarkannya dari skema tindak pidana ringan," kata Kadafi.
Selanjutnya dalam Pasal 280, terminologi "pengadilan" masih digunakan, yang potensial dimaknai sebagai ketua pengadilan. Padahal jika yang dituju adalah tindakan yang terjadi saat persidangan berlangsung, sebaiknya subyek yang diatur untuk memberi perintah adalah "hakim ketua sidang" sebagai pemegang otoritas sesuai KUHAP dan berbagai ketentuan hukum acara.
Secara keseluruhan rumusan Pasal 280 sama, meski dengan tambahan 1 huruf, dimana sebagian (huruf b dan c) diperluas tidak hanya terhadap hakim, tetapi juga aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan, serta kedua ketentuan tersebut (huruf b dan c) dipertegas sebagai delik aduan.
Kadafi menyebut berbagai pertimbangan KY dalam masukannya ke pemerintah sepertinya masih relevan, seperti penggunaan frasa 'untuk kepentingan proses peradilan', 'bersikap tidak hormat', dan 'menyerang integritas' berikut penjelasannya yang cenderung subyektif dan luas, dan potensial menjadi disinsentif bagi pencari keadilan untuk bersikap kritis terhadap perilaku hakim.
"Karenanya masukan KY adalah agar diatur pula mengenai keberadaan Tata Tertib Persidangan yang memang diamanatkan oleh Pasal 231 ayat (2) KUHAP. Berbagai frasa di atas bisa diberi ruang lingkup dan batasan yang lebih obyektif dalam Tata Tertib Persidangan, dimana Mahkamah Agung dapat menyusunnya secara partisipatif, yang akan menjadi acuan hakim ketua sidang untuk menjaga dan menegakkan kelancaran dan ketertiban sidang," ucap Kadafi.
Walau demikian, pasal menyangkut perekaman di dalam persidangan yang disepakati oleh pemerintah dan DPR sudah sejalan dengan masukan KY. KY meyakini perekaman inu penting dalam menindaklanjuti dan memutus ada tidaknya pelanggaran KEPPH ketika ada laporan masyarakat.
"Yang sudah sejalan dengan masukan KY adalah tindakan perekaman sidang tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana," ujar Kadafi.