REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, kehadiran relawan berperspektif anak penting dalam kegiatan pemulihan trauma (trauma healing) bagi anak-anak pascabencana gempa yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Dia mengatakan bencana gempa bumi dapat membawa reaksi beragam bagi usia anak dan remaja.
"Kehadiran relawan yang memiliki perspektif cara bekerja dengan anak-anak, baik anak di bawah umur maupun usia sekolah menjadi sangat penting, dalam rangka mengalihkan ketakutan dan kecemasan berlebihan mereka," kata Jasra melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (28/11/2022).
Umumnya, kehidupan anak yang masih penuh ketergantungan dan belum mampu melakukan banyak hal sendiri, akan bereaksi dengan sensitif ketika mendengar suara di sekitarnya. Hal ini, kata dia, menjadi pertanda para orang tua dan relawan untuk mendampingi secara intensif.
"Apalagi dengan korban 321 orang meninggal, menandakan ada anak-anak yang mengalami kehilangan, perpisahan, keprihatinan, yang bila rasa ini tidak diolah menjadi makna positif akan menjadi keprihatinan mendalam. Bahkan, bila penanganannya telat akan membawa multikehilangan dan kesedihan," kata Jasra.
Dia mengatakan, perasaan cemas dan khawatir yang muncul pada anak pascabencana, apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan membawa efek ketakutan, keputusasaan, hilang harapan, rasa bersalah, dan stigma. Jika cemas dan kekhawatiran ini tidak dipandu, dituntun, dan dibekali dengan memberi makna positif, maka dapat membawa situasi yang lebih buruk bagi anak.
Menurut dia, keberhasilan pemulihan trauma pada anak usia pra-sekolah sangat ditentukan dari keaktifan figur yang melekat seperti ibu dan anggota keluarga lainnya. Sedangkan untuk usia remaja, anak lebih mementingkan teman-teman sebayanya (peer support). Hal inilah, menurut Jasra, yang perlu diperhatikan dalam kegiatan trauma healing.
"Keberhasilan trauma healing menuntut prasyarat kedekatan dan kepercayaan. Sehingga mereka yang sedang bekerja di sana, dapat memanfaatkan kondisi, situasi psikologis, usia dan perkembangan yang membawa kecenderungan aktivitas sosial anak-anak di pengungsian," ujar dia.
Jasra juga menyoroti pentingnya kehadiran pendamping atau konselor bagi anak usia remaja yang benar-benar bekerja untuk mereka. Menurut dia, remaja juga sangat penting untuk diperhatikan.
Meski remaja bisa memaknai peristiwa dengan lebih baik dengan reaksi kecemasan yang tidak begitu kentara, remaja justru bisa menjadi enggan untuk mengikuti kegiatan di tenda pengungsian ketika mereka sudah mengalami gangguan kesehatan. Berdasarkan pengalaman kegiatan di tenda pengungsian, seringkali kegiatan anak-anak usia sekolah dan prausia sekolah lebih terpenuhi dibanding remaja sehingga mereka jauh dari pengawasan.
"Mereka kemudian meninggalkan tenda pengungsian, karena kurang diperhatikan, seringkali situasinya menjadi pengalaman yang buruk. Pengalaman di tenda pengungsian, justru remaja menghadapi kasus kekerasan remaja dan kekerasan seksual," kata Jasra.