Senin 28 Nov 2022 18:26 WIB

Wamenkumham Klaim RKUHP Jelaskan Seketat Mungkin Beda Penghinaan dan Kritik

Eddy menjelaskan saat ini pengesahan RKUHP di sidang paripurna tergantung DPR.

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022). Rapat kerja tersebut membahas penyampaian penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi Pemerintah.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022). Rapat kerja tersebut membahas penyampaian penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi Pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Hiariej mengeklaim Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur penjelasan seketat mungkin mengenai perbedaan antara penghinaan dan kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. Menurut Eddy, sapaan akrabnya, dengan penjelasan yang terperinci mengenai perbedaan penghinaan dan kritik maka tidak akan akan kesalahan interpretasi mengenai penghinaan dan kritik.

"Kami memberi penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik dan penjelasan di dalam kedua pasal itu kami ambil dari Undang-Undang Pers yang di situ ditegaskan bahwa dalam satu negara demokrasi, kritik itu diperlukan sebagai satu kontrol sosial," kata Eddy, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/11/2022).

Baca Juga

Eddy pada Senin ini melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai RKUHP yang telah disepakati di tingkat I antara Komisi III DPR dan pemerintah. Dalam RKUHP tersebut terdapat Pasal 240 terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.

Eddy mengatakan pasal tersebut juga dibatasi dengan penjelasan bahwa pemerintah dalam pasal tersebut adalah lembaga kepresidenan. Sedangkan lembaga negara dalam pasal tersebut adalah lembaga legislatif yakni DPR, MPR, DPD dan lembaga yudikatif adalah Mahkamah Agung, serta Mahkamah Konstitusi.

"Dan itu (semua) delik aduan," kata Eddy.

Selain pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, Eddy juga menjelaskan bahwa RKUHP mengatur mengenai hukuman pidana mati sebagai alternatif. Dengan begitu, kata Eddy, hakim pengadilan tak bisa langsung menjatuhkan vonis hukuman pidana mati, namun diatur dengan percobaan 10 tahun kurungan penjara.

"Jika dengan jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati diubah pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun," kata dia.

Perubahan pasal yang mengatur pidana hukuman mati tersebut, kata Eddy, merupakan perkembangan berarti bagi perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Terdapat juga mengenai pasal 2 RKUHP yang mengatur hukum yang hidup yang di masyarakat alias living law.

Eddy menyebutkan DPR mengusulkan agar pedoman pembentukan living law didasarkan pada Peraturan Pemerintah. Eddy menjelaskan saat ini pengesahan RKUHP di sidang paripurna tergantung DPR.

"Bola sekarang ada di DPR, harus ditanyakan ke DPR kapan waktunya," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement