Senin 28 Nov 2022 03:46 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Soroti 10 Pasal Bermasalah RKUHP

Pasal yang dinilai berbahaya dalam RKUHP bisa membuat masyarakat dikriminalisasi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah mahasiswa memegang poster foto almarhum Randi dan Yusuf saat unjuk rasa mengenang kematian dua mahasiswa tersebut di Mapolda Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (26/9/2022). Ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa solidaritas untuk mendiang rekan mereka Randi dan Muh Yusuf Kardawi yang meninggal tertembak ketika aksi penolakan RKUHP dan RUU kontroversial lainnya pada September 2019.
Foto: ANTARA/jojon
Sejumlah mahasiswa memegang poster foto almarhum Randi dan Yusuf saat unjuk rasa mengenang kematian dua mahasiswa tersebut di Mapolda Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (26/9/2022). Ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa solidaritas untuk mendiang rekan mereka Randi dan Muh Yusuf Kardawi yang meninggal tertembak ketika aksi penolakan RKUHP dan RUU kontroversial lainnya pada September 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat menolak pengesahan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Diketahui, Komisi III DPR dan pemerintah sudah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I atas RKUHP.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur yang merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil menjelaskan, saat ini setidaknya masih ada 10 pasal bermasalah dalam RKUHP. Pertama adalah living law atau hukum yang hidup di masyarakat.

Baca Juga

"Pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah," ujar Isnur lewat keterangannya, Ahad (27/11/2022).

Kedua adalah pasal terkait hukuman mati. Menurutnya, klausul terkait hukuman pidana mati harus ditiadakan dalam RKUHP, sebab adanya contoh kasus pidana mati yang ternyata salah eksekusi.

Ketiga adalah pasal tentang perampasan aset untuk denda individu. Hukuman kumulatif berupa denda dinilainya akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa.

"Keempat, pasal penghinaan terhadap presiden. Pasal ini adalah pasal anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana," ujar Isnur.

Selanjutnya adalah pasal penghinaan lembaga negara atau pemerintah yang dinilainya menjadi alat agar negara digaungkan layaknya pada masa kolonial. Lalu poin enam adalah contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan. "Pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa," ujar Isnur.

Ketujuh adalah pasal unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Ia menilai bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin kebebasan berkumpul.

Selanjutnya adalah pasal terkait edukasi kontrasepsi. Pasal itu berpeluang untuk mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi, orang tua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi.

Berikutnya poin sembilan adalah pasal tindak pidana terkait agama. Terakhir adalah pasal penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, seperti marxisme dan leninisme. "Aturan ini dapat mengekang kebebasan akademik dan akan mudah digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis," ujar Isnur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement