Selasa 22 Nov 2022 12:42 WIB

SP3 Kasus Pemerkosaan Pegawai Kemenkop UKM Dicabut, Mahfud: Harus Dibawa ke Pengadilan

Mahfud menegaskan restorative justice tidak bisa diterapkan pada kejahatan serius.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Andri Saubani
Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, kasus dugaan pemerkosaan (gang rape) terhadap pegawai Kemenkop UKM dilanjutkan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, kasus dugaan pemerkosaan (gang rape) terhadap pegawai Kemenkop UKM dilanjutkan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus pemerkosaan pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) dibatalkan. Mahfud menegaskan, proses hukum terhadap kasus ini pun tetap akan dilanjutkan.

Keputusan ini diambil setelah Mahfud menggelar rapat gabungan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (21/11/2022). Rapat itu dihadiri oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop UKM dan Kementerian PPPA.

Baca Juga

"Memutuskan bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kemenkop UKM yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya," kata Mahfud dikutip dari video yang diunggah di kanal YouTube Kemenko Polhukam, Selasa (22/11/2022).

"Oleh sebab itu, kepada empat tersangka dan tiga saksi, yaitu N, MF, WH, ZPA, kemudian saksinya yang juga dianggap terlibat itu, A, T, dan H itu supaya diproses ke pengadilan," imbuhnya.

Mahfud menyebut, ada beberapa hal yang menjadi alasan pembatalan SP3 tersebut. Dia menjelaskan, pencabutan laporan dalam kasus ini dan membuat kepolisian menghentikan penyidikan, tidak benar secara hukum.

Dia mengungkapkan, sebuah laporan tidak bisa dicabut. Pencabutan hanya berlaku dalam hal pengaduan, bukan pelaporan.

"Kalau laporan, polisi harus menilai, kalau tidak cukup bukti tanpa dicabutpun dihentikan perkaranya. Tapi kalau cukup bukti meskipun yang melapor menyatakan mencabut (laporannya), maka perkara harus diteruskan," jelas Mahfud. 

"Beda dengan pengaduan yang itu berdasarkan delik aduan. Kalau pengaduan, begitu yang mengadu mencabut, maka perkara menjadi ditutup," tambahnya menjelaskan.

Selain itu, Mahfud menyampaikan, penerbitan SP3 yang disebut berdasarkan restorative justice antara pelaku dan korban dalam kasus ini tidak sah. Ia menegaskan, restorative justice hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan, seperti delik aduan.

"Kalau kejahatan yang serius, yang ancamannya misalnya empat tahun lebih atau lima tahun lebih itu tidak ada restorative justice. Korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, itu tidak ada restorative justice," jelas Mahfud.

"Itu harus terus dibawa ke pengadilan. Karena ini banyak yang salah kaprah. Ada orang tertangkap korupsi, lalu minta restorative justice. Tidak ada restorative justice di dalam kejahatan," sambung dia.

Sebelumnya diberitakan, tercatat pada 2019, terjadi kasus kekerasan seksual berbentuk gang rape di lingkup Kemenkop UKM yang kemudian ditindaklanjuti berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan SP3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban. Padahal, pernikahan itu diduga sarat dengan tekanan.

Korban dan keluarganya sempat didatangi pejabat Kemenkop UKM dan keluarga pelaku ketika kasus ini sudah dalam proses penyidikan. Dalam kesempatan itu, keluarga pelaku memelas dikasihani. Bahkan keluarga korban dipaksa menikahkan korban dengan salah satu pelaku berinisial ZP yang masih lajang.

Pernikahan itu akhirnya berlangsung pada 12 Maret 2020 menggunakan izin menikah karena pelaku saat itu mendekam di balik jeruji besi. Usai pernikahan, ZP tak berlaku layaknya suami dari korban.

Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak kepolisian mengusut lagi kasus kekerasan seksual di Kemenkop UKM. Kasus ini melibatkan mantan pegawai dan pegawai aktif Kemenkop UKM. 

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu menyampaikan penyelidikan kasus ini bisa dibuka lagi lantaran sebab penghentian kasusnya tak tepat. Kasus ini memang sempat dihentikan atau SP3 ketika korban dipaksa dinikahkan dengan salah satu pelaku. 

"Saya pikir bukan hal sulit bagi kepolisian untuk membuka (kasus gang rape ini) tanpa harus melalui praperadilan. Cukup gelar perkara saja, dan buka kembali SP3 itu," kata Edwin kepada wartawan, Selasa (8/11/2022). 

Edwin menilai penyelidikan kasus tersebut pantas dilanjutkan supaya korban bisa memperoleh keadilan. Edwin menegaskan restorative justice seharusnya tak diimplementasikan dalam kasus kekerasan seksual. Sebab langkah itu malah memposisikan korban sebagai pihak yang paling menderita.

"Memang tidak sepantasnya kekerasan seksual diselesaikan dengan restorative justice," ujar Edwin. 

 

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement