Senin 21 Nov 2022 18:53 WIB

Muhammadiyah Wajib Menjadi Booster dan Gatekeeper Ancaman Polarisasi

Muktamar Muhammadiyah dan narasi demokrasi berkemajuan.

Relawan menyiapkan makanan di Dapur Umum Muktamar ke-48 Muhammadiyah, Balai Desa Gonilan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Ahad (20/11/2022). Setiap hari sekitar 150 relawan menyiapkan 4500 porsi makanan disiapkan untuk penggembira selama Muktamar Muhammadiyah berlangsung. Ada enam titik dapur umum yang disiapkan yang tersebar di Sukoharjo, Surakarta, dan Karanganyar.
Foto:

Muhammadiyah: Menanti “Punch Line” dan Arah Koalisi Keumatan 2024

Seusai muktamar digelar, publik menanti ke mana arah Muhammadiyah. Jika dijawab secara normatif, tentu gampang saja. Arah Muhammdiyah pasti tetap menghadap ke kiblat. Namun, tentu publik menginginkan jawaban lebih dari itu. Kiblat yang dimaksud bukan sekedar kiblat sholat, tapi kiblat politik.

Muhammadiyah telah berhasil menggelar pesta demokrasi melalui e-voting. Sebuah praktik demokrasi digital yang tentu tengah berkembang menyesuaikan zaman. Catatan penting terkait esensi demokrasi lebih dari sekedar konversi teknologi, tapi mengawal suara tak dikooptasi. Dalam konteks ini, Muhammadiyah bukan hanya ormas, ia kendaraan aspirasi umat Islam.

Organisasi sedemikian besar ini tentu perlu mengarusutamakan wacana atau diskursus yang lebih produktif. Jangan sampai isu utama yang seharusnya menjadi fokus justru luput dari perhatian. Akhirnya, energi kemajuan yang seharusnya menjadi simpul perubahan justru tersedot ke isu-isu yang tak diperlukan. Akibatnya menjadi tertatih-tatih mengurusi persoalan kebangsaan.

Menjawab tantangan tesis Samuel Huntington atau Francis Fukuyama yang menyebut demokrasi cenderung tak kompatibel dengan warga Islam perlu dibuktikan dalam kerja-kerja permusyawaratan. Muhammadiyah sebagai entitas yang tak condong ke kanan atau ke kiri, dapat mendamaikan gejolak peradaban dengan konsepsi wasathiyah yang inklusif untuk beradaptasi dengan perkembangan.

Kembali ke penantian publik seperti yang tengah didiskusikan. Ke mana suara Muhammadiyah di konstelasi dan kontestasi politik 2024 mendatang. Mau dilabuhkan ke mana aspirasi jutaan jamaah itu? Muhammadiyah memang bukan organ politik, tapi tentu tak bisa lepas dari kepentingan politik. Pasca muktamar, setidaknya Muhammadiyah mempunyai tiga pekerjaan rumah (PR).

Pertama, Muhammdiyah perlu mentransfer kedamaian situasi muktamar yang sejuk dan tak gaduh itu untuk diterapkan di perhelatan politik 2024 nanti. Kedua, sebagai entitas yang menempatkan Islam dalam narasi fungsional berkemajuan (din al-hadlarah) dapat menjadi kendaraan umat yang mencerahkan. Artinya, Muhammadiyah perlu terlibat dalam literasi dan edukasi politik kewargaan. Berkemajuan itu perlu diturunkan dalam praktik konkret dalam rangka membersamai masyarakat agar tak melepas suaranya cuma-cuma.

Ketiga, Muhammadiyah harus bisa menciptakan “punch line” yang menggembirakan di tengah sengitnya persaingan memperebutkan kekuasaan. Belajar dari para komika, momen kelucuan dalam konteks ini dikaitkan dengan esensi untuk memenuhi harapan atau ekspektasi publik. Menertawakan sebuah jokes itu perlu kejujuran. Artinya, tawa itu tak bisa dimanipulasi. Memang ada penonton bayaran dalam sebuah industri siaran, tapi demokrasi tak perlu membeli suara hanya untuk menghasilkan “kebahagian palsu”, “suara semu”. Jangan sampai publik menjadi korban dan tumbal sirkulasi elite kepemimpinan. Muhammadiyah perlu hadir dalam demokrasi kita, bukan untuk tunduk pada barter politik praktis, tapi memimpin arah koalisi keumatan yang humanis.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement