Senin 21 Nov 2022 18:53 WIB

Muhammadiyah Wajib Menjadi Booster dan Gatekeeper Ancaman Polarisasi

Muktamar Muhammadiyah dan narasi demokrasi berkemajuan.

Relawan menyiapkan makanan di Dapur Umum Muktamar ke-48 Muhammadiyah, Balai Desa Gonilan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Ahad (20/11/2022). Setiap hari sekitar 150 relawan menyiapkan 4500 porsi makanan disiapkan untuk penggembira selama Muktamar Muhammadiyah berlangsung. Ada enam titik dapur umum yang disiapkan yang tersebar di Sukoharjo, Surakarta, dan Karanganyar.
Foto:

Muhammadiyah: Gerakan Jamaah dan Gerakan Intelektual

Persyarikatan Muhammadiyah menjadi gerakan jamaah dan gerakan intelektual sejak kelahirannya. Salah satu organisasi Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang telah berusia satu abad lebih (110 tahun) sejak 8 Dzulhijjah 1330 (18 November 1912) telah mewarnai praktik pencerahan pada Republik ini. Inisiasi KH. Ahmad Dahlan tak hanya menjadi khasanah literasi keagamaan, namun sebagai embrio pemikiran dan kepemimpinan nasional sampai saat ini.  

Deretan intelektual terpilih sebagai bagian Pimpinan Pusat Muhammdiyah periode 2022-2027, di antaranya: Prof Haedar Nashir; Prof Abdul Mu’ti; Dr Anwar Abbas; Dr Busyro Muqoddas; Prof Hilman Latief; Prof Muhadjir Effendy; Prof Syamsul Anwar; Dr Agung Danarto; Dr M. Saad Ibrahim; Prof Syafiq A. Mughni; Prof Dadang Kahmad; Ahmad Dahlan Rais, M.Hum; dan Prof Irwan Akib. Sementara, di tingkat Pimpinan Pusat Aisyiyah periode 2022-2027 juga menetapkan sejumlah srikandi pemikir berkemajuan seperti Dr Siti Noordjannah Djohantini; Dr Siti Aisyah; Dr Salmah Orbayinah; Dr Rohimi Zam Zam; Dr Tri Hastuti; Prof Masyitoh; Dra Latifah; Dr Atiyatul Ulya; Evi Sofia Inayati S.Psi; Rita Pranawati, MA; Diyah Suminar, SE; Prof Siti Muslimah Widyastuti; dan Diyah Puspitarini, M.Pd.

Konsentrasi Muhammadiyah bergerak berjamaah terutama melalui jalur pendidikan menjadi kata kunci narasi Islam berkemajuan yang menjadi spiritnya. Tak heran jika puluhan perguruan tinggi, ribuan sekolah dan ratusan pesantren berdiri sebagai kontribusi nyata bagi negeri. Muhammadiyah telah menjadi ekosistem, “sumur ilmu” bagi para penimbanya dan “nafas” bagi para penggeraknya.  Tak heran jika yang hidup dan menghidupi rumah besar itu bukan sembarang orang. Mereka figur-figur yang dibesarkan dengan ketakziman, kebijaksanaan dan keteladanan.

Sekali lagi, Muhammadiyah menjadi habitat bagi para intelektual, aktivis, pengusaha juga politisi berkemajuan. Tak heran jika setiap momen muktamar selalu dinanti hasil dan pengaruhnya. Bahkan Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai saudara tua bagi Nahdlatul Ulama. Artinya, saat Republik ini mengalami krisis multidimensional, Muhammadiyah dan NU hadir terdepan sebagai pilar peradaban.  

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement