Senin 21 Nov 2022 11:03 WIB

Penggembira Muktamar Muhammadiyah yang Menggembirakan

Muktamar yang menyedukan dan sukses.

Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Stadion Manahan, Solo, Sabtu (19/11/2022).
Foto:

Muktamar Minus Kontestasi

Sebagai pimpinan ranting, saya memang tidak ikut terlibat penuh dalam sidang Muktamar. Apalagi proses pemilihan Pimpinan Pusat. Saya hanya merasakan sama sekali tidak ada aura kontestasi, meski ada agenda pemilihan Ketua Umum. Tidak ada kasak kusuk, lobi lobi, atau kampanye yang dilakukan oleh para calon kandidat. Apalagi tawaran tiket atau penginapan gratis dari tim pemenangan para bakal calon. Dalam proses pemilihan ini, tidak ada satu orangpun yang mencalonkan diri. 

 Muhammadiyah memang memiliki mekanisme pemilihan ketua umum yang unik. Pintu kontestasi yang secara demonstratif dilakukan di arena mukatamar tertutup rapat. Tidak ada kubu si A atau si B yang terafiliasi dengan kesamaan suku ataupun kedaerahan yang aktif melakukan lobi atau menawarkan iming-iming menggiurkan. 

Proses penjaringan sudah dilakukan jauh jauh hari sebelum Muktamar berlangsung. Jika warga Muhammadiyah ada yang ingin mencalonkan diri menjadi ketua umum, maka, paling tidak ia harus terlebih dahulu dikenal oleh para pemilik suara untuk bisa dicalonkan. 

Proses penjaringan dilakukan secara rapi. Awalnya ada 216 nama yang terjaring sebagai bakal calon. Dari angka tersebut, mengerucut menjadi 126 bakal calon. Dari 126 menjadi 92 nama calon yang dibawa ke sidang tanwir. Melalui mekanisme internal, 92 nama tersebut akan dipilih menjadi 39 nama. Dari 39 nama itu lalu dibawa ke sidang Muktamar hingga terpilih menjadi 13 Pimpinan Tetap Pengurus Pusat Muhammadiyah. Pemilihan Ketua dan Sekretaris Umum dilakukan oleh 13 Pimpinan Pusat. Setelah terpilih lalu ditetapkan dalam Sidang Pleno VIII. 

Semua proses tahapan pemilihan itu dilakukan dengan hening, berazaskan musyawarah mufakat. Tidak ada debat dan adu gagasan dari para kandidat yang dipandu moderator dan dinilai oleh dewan juri. Tidak ada pidato-pidato dengan suara lantang di atas mimbar. Tidak ada kampanye, perang spanduk ataupun selebaran. Tidak ada janji-janji yang ditebarkan. Tidak ada pengerahan pendukung yang berpotensi bikin gaduh, lempar-lemparan kursi dan siap baku pukul di area Muktamar.

Ada pertanyaan dari seorang kawan yang sedang giat meneliti soal demokrasi. “Sistem pemilihan Ketua Umum di Muhammadiyah demokratis gak ya?” 

Sebagai ketua ranting, saya hanya mampu menjawab sebisanya. Hemat saya, demokrasi itu bukan tujuan. Ia hanyalah instrument untuk mencapai kemaslahatan bersama. Sebagai alat ia memang penting. Tapi ia tidak melebihi kepentingan tujuan akhir. Selama mekanisme yang digunakan oleh warga Persyarikatan Muhammadiyah itu berhasil menumbuhkan kemaslahatan, maka demokrasi itu sudah sampai pada cita-citanya.

  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement