Kamis 17 Nov 2022 14:43 WIB

Terungkap, DPR Sudah Terima Surpres Revisi UU ITE Sejak 2021

Legislator beralasan selama ini fokus pada UU perlindungan data pribadi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ilham Tirta
Ketua DPR Puan Maharani.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua DPR Puan Maharani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menggelar rapat paripurna ke-10 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Dalam forum tersebut, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pihaknya telah menerima surat presiden (surpres) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Terungkap, surpres itu sudah diterima sejak 16 Desember 2021. Namun baru dibacakan dalam rapat paripurna pada November 2022.

Baca Juga

"Perlu kami beritahukan bahwa pimpinan DPR sudah menerima Surat dari Presiden Nomor R58 tanggal 16 Desember (2021) tentang Rancangan UU Perubahan kedua UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE," ujar Puan dalam rapat paripurna, Kamis (17/11/2022).

Puan tidak menjelaskan kenapa surpres itu baru dibacakan saat ini. Namun usai rapat tersebut, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus menjelaskan, revisi UU ITE merupakan tugas dari Komisi I DPR. Dalam setahun terakhir, Komisi I tengah berkutat dan fokus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang telah disahkan sebagai UU.

"Itu (revisi UU ITE) kan dilimpahkan ke Komisi I, kita kemarin kan fokus pada UU PDP, ya kan lama PDP ini. Nah sekarang ini lebih penting, ini Undang-Undang (ITE) sudah ada, tinggal direvisi. Kalau PDP baru sama sekali, sehingga kita fokus (ke RUU PDP)," ujar Lodewijk di GEdung Nusantara II, Kompleks Parlemen.

Adapun revisi UU ITE, jelas Lodewijk, merupakan undang-undang yang sudah jadi, tetapi dalam perkembangannya menimbulkan polemik. Sehingga didorong oleh banyak pihak untuk direvisi dan telah masuk dalam program legislasi nasionalm (Prolegnas) Prioritas 2023.

"Mungkin nanti kita lihat lah perkembangannya. Kalau terkait dengan permasalahan hukum kita juga akan berkomunikasi dengan Komisi III, kan ini semuanya masalah hukum juga," ujar Lodewijk yang juga merupakan anggota Komisi I.

Sebelumnya, Paguyuban Korban UU ITE menggelar audiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam forum tersebut, mereka mendesak agar DPR merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad mengatakan bahwa pihaknya menjadi tempat mengadu bagi pihak-pihak yang menjadi korban dari payung hukum yang disalahkan gunakan oleh sejumlah pihak. Harapannya dengan adanya revisi, UU ITE tak lagi memakan korban dari seseorang yang hanya melontarkan pendapat atau kritiknya.

"Kami tergabung dalam satu koalisi yaitu namanya koalisi serius. Kenapa serius? karena kami melihat bahwa revisi Undang-Undang ITE harus serius dilakukan dan harus serius benar-benar dijalankan," ujar Arsyad di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/7).

Ia menjelaskan, ada satu pasal dalam UU ITE yang sering disalahgunakan untuk mempidanakan seseorang, yakni Pasal 27. Bunyi pasal tersebut, "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000."

"Selama UU ITE itu ada, apa pun yang dilakukan pemerintah, pasti ada oknum-oknum yang bisa melakukan pembungkaman dan membunuh demokrasi yang sudah kita bangun," ujar Arsyad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement