Kamis 17 Nov 2022 13:13 WIB

Kasus Gagal Ginjal Akut Jadi Momentum Upaya Perberat Sanksi Kejahatan Farmasi

UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Apoteker menunjukan obat sirop di salah satu apotek di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (21/10/2022). UU tentang Kesehatan saat ini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya memperberat sanksi kejahatan farmasi setelah merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho
Apoteker menunjukan obat sirop di salah satu apotek di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (21/10/2022). UU tentang Kesehatan saat ini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya memperberat sanksi kejahatan farmasi setelah merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro, Bambang Noroyono

Advokat atas nama Rega Felix menggugat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pascamerebaknya kasus gagal ginjal akut di Tanah Air. Hal ini disebabkan ringannya sanksi bagi pelaku kejahatan farmasi menurut Rega. 

Baca Juga

Rega menyoal Pasal 196 UU Kesehatan dalam perkara Nomor 106/PUU-XX/2022 itu. Isi Pasal 196 UU Kesehatan : “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memgedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Rega menyebutkan, Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sebab, sediaan farmasi yang tersedia di masyarakat ternyata mengakibatkan kematian massal secara meluas sehingga perbuatan mencemari sediaan farmasi demikian sepatutnya dikategorikan sebagai kejahatan.

Menurutnya, kejahatan yang berdampak multidimensional tersebut menyangkut rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

"UU seharusnya menjadi alat pencegah dari kejadian yang tidak diinginkan dalam masyarakat, namun pasal a quo hanya memberikan sanksi ringan sehingga pelaku kejahatan terhadap sediaan farmasi tidak takut untuk melakukan perbuatannya, padahal dampak atas perbuatannya sangat masif dan menciderai rasa kemanusiaan," kata Rega dalam risalah sidang yang dikutip pada Kamis (17/11/2022). 

Rega memandang rasa takut luar biasa di masyarakat telah secara aktual terjadi secara luas terkait merebaknya kejadian kematian anak akibat gagal ginjal akut. Hal ini mempengaruhi Pemohon dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Rasa takut ini disebabkan obat-obat esensial yang umum beredar di masyarakat ternyata menjadi penyebab kematian anak-anak. 

"Kejadian ini terlihat dari ditariknya obat-obatan berbentuk sirop dari peredaran, padahal obat-obat tersebut esensial bagi anak-anak," ujar Rega. 

Untuk itu, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan frasa “dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh) tahun” dalam Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling  lama 20 (dua puluh) tahun.”

Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan mengatakan perlu untuk mencantumkan PMK 2/2021 yang merupakan pedoman dalam menguraikan kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara a quo. Berikutnya, Pemohon juga diharapkan dapat menyertakan pada bagian kedudukan hukumnya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan khusus dibandingkan dengan warga negara lain sehingga perlu mendapat perhatian lebih utama.

"Harusnya bisa dijelaskan apa yang menjadi spesifik dari kerugian Pemohon sehingga terlihat kerugian konstitusional Pemohon. Dan mengenai ancaman hukuman yang diinginkan Pemohon atas ancaman pidana ini perlu diperhatikan karena tidak dapat begitu saja ditentukan tanpa adanya penelitian lebih lanjut," ucap Manahan.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel mengingatkan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji harus dielaborasi lebih jauh dengan norma yang diujikan. Selain itu, Daniel meminta agar Pemohon mempelajari lebih lanjut aturan pidana, mulai dari aspek-aspek pidana hingga pelaksaaannya yang menghendaki adanya penambahan lama pemidanaan atas suatu kejahatan yang bersifat kemanusiaan.

"Dalam Statuta Roma, ada beberapa kategori termasuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang juga disadur oleh hukum Indonesia. Maka, buatkan bangunan teorinya dari UU negara lain yang memperlihatkan aspek-aspek ini sehingga MK dapat mempedomaninya dengan lebih hati-hati dalam mencermati perkara ini," saran Daniel. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement