Kamis 17 Nov 2022 07:21 WIB

Sosialisasi RKUHP di Palu, Para Pakar Ilmu Pidana Curahkan Sejumlah Pandangan

Ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional.

Ilustrasi RKUHP
Foto: mgrol100
Ilustrasi RKUHP

REPUBLIKA.CO.ID, PALU – Guru Besar Universitas Negeri Semarang Prof. Dr. R Benny Riyanto, SH, M.Hum. mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini adalah warisan kolonial Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang sudah dinaturalisasi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Hal itu disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi RUU KUHP, di Palu, Sulawesi Tengah.

“Walaupun sudah dinaturalisasi, karena itu merupakan produk kolonial Belanda, pasti belum mendasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terkait dengan perlindungan dasar falsafah negara kita Pancasila,” ujarnya.

Baca Juga

Prof. Benny menjabarkan perbedaan antara KUHP WvS dan RUU KUHP, di mana secara sistematika ada perbedaan dalam jumlah buku. KUHP WvS memiliki tiga buku, sedangkan RUU KUHP memiliki dua buku saja. 

“Dari tiga buku di dalam WvS, draft RUU KUHP menyederhanakan dengan menggabungkan Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran menjadi satu terminologi yang namanya Tindak Pidana. Sehingga draft RUU KUHP hanya ada dua buku, Buku I dan Buku II,” kata dia.

Prof. Benny mengatakan, Kritik-kritik yang mengatakan RUU KUHP overkriminalisasi atau banyak perbuatan yang diatur menjadi tindak pidana perlu dibahas lebih lanjut. Itu marena menurutnya, pasal-pasal yang ada di Buku II RUU KUHP lebih sedikit dari pada Buku II dan Buku III KUHP WvS digabungkan.

Lebih jauh Prof. Benny mengatakan, ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif.

“Dengan pergeseran paradigma ini memang menuntut KUHP WvS untuk segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini, karena tuntutan dari paradigma baru berlaku secara universal di seluruh belahan dunia kita,” ujar dia.

Selain itu, masih menurut dia, hukum tertulis juga kerap tertinggal dari fakta peristiwanya, KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. Menurut dia, KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila.

“Lahirnya KUHP Nasional juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal,” ujar Prof. Benny.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof.Dr. Pujiyono, SH. M.Hum. mengatakan, pada saat dulu RKUHP dibuat memiliki misi tunggal yaitu dekolonisasi, tetapi kemudian berkembang menjadi demokratisasi, konsolidasi, adaptasi, dan harmonisasi.

“Ketika berbicara pembaruan KUHP, pada hakikatnya bukan pembaharuan norma, tetapi pembaharuan sistem nilai, atau pembaruan ide dasar. Karena KUHP yang kita miliki saat ini sebetulnya berdasarkan pada ide dasar individualis liberal yang bertentangan dengan konsep ide dasar kita yaitu monodualistik,” kata dia.

Ia mengatakan, di dalam RKUHP menganut asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan tindak pidana. 

“Sangatlah naif ketika kita menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya yang bersumber dalam KUHP, sedangkan masih banyak perbuatan yang merupakan tindak pidana tetapi tidak tertampung di dalam Undang-Undang,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Prof. Pujiyono, di dalam penentuan tentang tindak pidana tidak hanya berdasar pada Undang-Undang yang formal, tetapi juga hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law. 

“Pada pembaharuan RKUHP, perumusan tindak pidana tidak lagi secara tegas mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’. Menurutnya, semua tindak pidana diasumsikan dilakukan dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa itu sebagai dolus, maka itu dicantumkan di dalamnya,” ucap Prof. Pujiyono. 

Prof. Pujiyono menyarankan agar dalam memahami RKUHP jangan hanya membaca Buku II, tetapi konsep ide dasar pembaharuannya justru ada di Buku I, karena pada dasarnya hukum pidana terdiri dari dua inti yaitu value dan norma.

Dalam kesempatan yang sama, Lektor Kepala Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Dr. Abdul Wahid, SH, MH mengatakan bahwa asas fundamental di dalam mempelajari hukum pidana adalah asas legalitas. 

“Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku,” kata dia.

Wahid mengatakan, sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.

“RKUHP tidak menghilangkan atau mengurangi berlakunya hukum adat yang tidak tertulis di dalam Undang-Undang atau hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 RKUHP,” katanya.

Menurutnya, untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat, perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang memuat mengenai hukum yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat, yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum adat tersebut.

“Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini,” kata dia.

Sementara, Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan, mengatakan, ini adalah upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat.

Ia berharap acara Sosialisasi RUU KUHP ini dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik secara luas.

“Semoga acara ini membawa manfaat yang besar dan positif bagi kita, masyarakat, dan negara. Mari kita dukung KUHP buatan Bangsa Indonesia,” kata dia seperti dilansir dari Antara, Rabu (16/11/2022).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement