Rabu 16 Nov 2022 13:26 WIB

KTT G20 Dinilai Jadi Langkah Strategis Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

KTT G20 menjadi ajang pembuktian kepemimpinan Indonesia di kancah global

 Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan pelaksanaan KTT G20 dapat dipakai sebagai ajang diplomasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Foto: Harian Republika
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan pelaksanaan KTT G20 dapat dipakai sebagai ajang diplomasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam menghelat KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022. 

Hal itu dibuktikan dengan hadirnya 17 kepala negara dalam konferensi bertaraf internasional tersebut. 

Baca Juga

Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah KTT G20 sehingga acara ini dapat dikatakan menjadi pertaruhan bagi wajah Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).  

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan pelaksanaan KTT G20 dapat dipakai sebagai ajang diplomasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.  

"Saya memiliki harapan terhadap kegiatan KTT G20 ini. Semoga kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang diplomasi Indonesia kepada negara-negara lain yang berkepentingan dengan wilayah kemaritiman Indonesia guna mewujudkan visi misi poros maritim dunia kita sehingga Indonesia dapat menunjukkan peradaban maritim, kedaulatan bangsa, dan ketahanan pangan serta energinya," ujar Marcellus Hakeng, Rabu (16/11/2022) dalam keterangan tertulisnya. 

Dia juga berharap KTT G20 dapat menjadi  hal utama pendorong  pembangunan maritim Indonesia masa depan, sehingga dapat menjamin kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan jati diri Indonesia di persaingan global. 

Apalagi, lanjut Capt Hakeng, saat ini telah terjadi peralihan perhatian dunia dan aktivitas dari wilayah Mediterania  dan Atlantik ke kawasan Indopasifik.

"Dengan peralihan perhatian dan aktivitas tersebut  maka wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis," ujar dia.  

Dengan letak Indonesia yang begitu strategis tersebut, maka sudah sepatutnya dapat dijadikan sebagai modal untuk berdiplomasi dalam sektor perikanan dan kelautan. 

Dia menyarankan Indonesia harus memanfaatkan momen perhelatan KTT G20 untuk berdiplomasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan yang sama-sama menguntungkan dan berkelanjutan.

Serta membahas syarat ekspor produk perikanan dan kelautan dari Indonesia ke negara lain, khususnya negara anggota G20.  

Dalam KTT G20 juga, kata dia. sepatutnya Indonesia dapat membahas mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan China, dan Indonesia dengan Vietnam yang wilayah lautnya berdekatan dengan wilayah laut  Indonesia. Atau juga dengan Negara Australia. 

"Sebab persoalan ZEE ini kerap muncul ke permukaan dan tidak jarang pula memunculkan konflik antara nelayan Indonesia dan nelayan asing atau nelayan Indonesia dengan pihak aparat penegak hukum negara lain dan sebaliknya," kata Capt Hakeng yang juga pendiri serta Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI). 

Selain itu, ujar dia, KTT G20 diharapkan juga menghasilkan suatu kesepakatan dalam memberikan perhatian dan perlindungan bagi para penyumbang devisa negara yakni pelaut kapal niaga ataupun pelaut perikanan. 

Sebab, masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima pekerja migran Indonesia terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas Kapal Penangkap Ikan Berbendera Asing. 

Berdasarkan laporan studi bertajuk "Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan" yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022 lalu,  PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia.    

Dari temuan tersebut, kata dia, diharapkan pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement