Rabu 16 Nov 2022 12:57 WIB

Nomor Urut Parpol tak Dikocok Ulang, Opsi dari KPU, dan Preseden Buruk Perppu Pemilu

KPU menyebut, pasal terkait nomor urut parpol di Perppu Pemilu bersifat terbuka.

Parpol peserta pemilu. Pada Pemilu 2024, parpol peserta pemilu akan menggunakan nomor urut seperti pada Pemilu 2019. (ilustrasi)
Foto:

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Politik dan PUM) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar pada Selasa (15/11/2022) mengakui, pembahasan rancangan Perppu terkait UU Pemilu melebar bukan sebatas mengakomodasi keikusertaan tiga DOB Papua dalam pemilu. Beberapa di antara materi yang ikut direvisi adalah penyeragaman masa jabatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah dan nomor urut parpol.

"Itu nanti sudah kita bicarakan hal-hal seperti itu," ujar Bahtiar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

"Namanya pendapat kan banyak pikiran kan, hal-hal itu, cuma kita lihat urgensinya seperti apa, kebaikannya apa. Lah kalau untuk kebaikan Pemilu 2024 kenapa ndak, jadi prinsipnya kita hal-hal yang baik itu kita dukung," ujar Bahtiar, menambahkan.

KPU pun sudah mengaku setuju dengan rencana partai peserta Pemilu 2019 menggunakan nomor urut sama saat Pemilu 2024. Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, ketika nomor urut partai lama tidak diundi saat Pemilu 2024, tentu akan ada efek positif. Salah satunya adalah masyarakat lebih mudah mengingat partai politik karena nomor urutnya sama dengan nomor urut di pemilu sebelumnya.

Dengan tidak adanya pengubahan nomor urut partai, Idham berharap partisipasi politik masyarakat meningkat saat gelaran Pemilu 2024. Terkait pasal nomor urut ini dalam Perppu, Idham mengatakan bahwa pasal tersebut akan bersifat terbuka. 

"Jadi bagi partai yang ingin menggunakan nomor urut sebelumnya silakan, tapi bagi partai parlemen yang menginginkan nomor urut baru ya nanti dilakukan pengundian," ungkapnya.

 

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai proses perancangan Perppu Pemilu sebagai anomali. Sebab, perppu yang sejatinya produk hukum pemerintah, ternyata melibatkan DPR dalam pembahasannya. 

"Perppu ini kan karena ada kegentingan yang memaksa atau situasi darurat, kok dibahaskan bersama antara pembentuk undang-undang pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR serta melibatkan para pihak KPU," kata Titi dalam diskusi daring Netgrit, dikutip Rabu. 

DPR sebelumnya diketahui menolak untuk merevisi UU Pemilu. Hal itu terbukti ketika hampir semua fraksi DPR sepakat mengeluarkan revisi UU Pemilu dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 dalam rapat Baleg DPR RI pada awal 2021 lalu. 

Titi menjelaskan, ketika Perppu UU Pemilu dibahas seperti sekarang, maka yang dirugikan adalah masyarakat. Pasalnya, pemerintah bersama DPR membahasnya bersama-sama dalam rapat tertutup, sedangkan masyarakat tidak bisa terlibat. Lain halnya jika dilakukan revisi UU di parlemen, tentu masyarakat bisa memberikan masukan. 

"Semua aktor-aktor negara ada, tapi masyarakatnya tidak ada. Kalau kita baca sirkulasi perppu ini kan ada pandangan fraksi dan ada pendapat KPU. Yang tidak terlibat adalah masyarakat sipil," ujarnya. 

Karena itu, Titi menilai perancangan Perppu UU Pemilu ini adalah sebuah preseden buruk dalam proses pembuatan produk hukum di Tanah Air. "Ini preseden buruk jika kita ingin bicara pemilu sebagai sebuah tertib hukum," katanya.

 

photo
Ilustrasi Pemilu - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement