Senin 14 Nov 2022 21:22 WIB

TGB: Politik Identitas untuk Singkirkan Lawan Politik tidak Boleh Ada di Indonesia

Tak sedikit orang yang mengejar kemenangan dengan mengeksploitasi identitas.

Ketua Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi usai menghadiri acara halal bihalal relawan Jokowi bersatu di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (5/7).
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Ketua Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi usai menghadiri acara halal bihalal relawan Jokowi bersatu di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID,  Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) H Muhammad Zainul Majdi menyatakan politik identitas untuk menyingkirkan lawan politik tidak boleh ada di Indonesia. 

"Orang berbeda kemudian dituduh munafik, antek-antek kafir dan bermacam-macam. Politik identitas dalam makna primordial untuk menyingkirkan lawan politik harus kita jauhkan, tidak boleh ada di Indonesia," katanya dalam keterangan resmi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (14/11/2022).

Baca Juga

Mengenai politik identitas, kata Doktor Ahli Tafsir Alquran ini, semua individu lahir dengan sederet identitas yang bersifat given. Mulai jenis kelamin, ras, bahkan juga agama. Misalnya orang tua beragama A, kemudian anaknya mengikuti beragama A.

"Dapat juga identitas lahir karena kerja sosial atau juga dari pendidikan sampai latar belakang profesi itu semua identitas," ujarnya.

Mantan Gubernur NTB dua periode ini mengatakan yang menjadi masalah ketika berpolitik praktis, tak sedikit orang yang mengejar kemenangan dengan mengeksploitasi identitas dalam konteks yang negatif.

"Misalnya, memobilisasi dukungan mengatasnamakan gagasannya yang paling valid dari sisi agama, sehingga yang berbeda dianggap bertentangan dengan agama," ucap TGB.

Lebih lanjut, ia mengatakan ketika politik identitas dibiarkan, itu akan seperti kotak pandora. Saat dibuka, maka semua orang akan menggunakan politik identitas itu dan meminggirkan orang lain yang berbeda.

Di Indonesia sendiri, lanjut TGB, tidak semua daerah memiliki preferensi yang sama. Ada satu daerah yang mayoritasnya umat Muslim, ada pula daerah lain mayoritas umat Kristiani, dan ada juga yang mayoritas umat Hindu.

"Maka ketika politik identitas digunakan untuk melabeli lawan politik atau menihilkan lawan politik ini dibiarkan, kita bisa hancur lebur sebagai bangsa," katanya.

Sebaliknya, kata cucu Pahlawan Nasional TGKH Mumahmmad Zainuddin Abdul Madjid ini, ketika sumber primordial digunakan untuk mencari kemuliaan dalam berpolitik, misalnya di dalam Islam ada nilai keadilan atau pemihakan kepada orang lemah. Kemudian ada langkah afirmatif untuk orang terpinggirkan. Bila nilai itu digunakan dalam politik tentu bagus.

"Tetap bersumber dari satu ajaran agama, tapi dalam konteks positif dihadirkan di ruang publik," ujar Ketua Harian Nasional DPP Partai Perindo itu.

Ia menegaskan, hal itu bukan hanya dalam ajaran Islam, namun juga bagi umat Kristiani atau Katolik mengambil ajaran dari kitabnya bagaimana cara menghadirkan keadilan untuk semua serta membangun kohesivitas sosial, kedamaian, itu bagus semua.

"Tapi, ketika mengatakan, sayalah representasi umat, yang bukan saya anti umat, dinilai tidak komitmen dengan agama, ini akan menimbulkan masalah. Jadi, semua identitas baik bila digunakan sesuai dengan takarannya, melalui substansi yang baik," kata TGB.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement